Senin, 17 Juni 2013

KENAIKAN HARGA BBM TIDAK SEJALAN DENGAN PEMIKIRAN EKONOMI PANCASILA

Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM


Pendahuluan

Dalam masyarakat dewasa ini terjadi “debat kusir” atau perdebatan menyesatkan antara pemerintah yang menganggap kenaikan harga BBM sebagai “kebijakan ekonomi rasional yang tidak dapat dihindarkan” dengan pendapat mahasiswa, masyarakat, dan pakar-pakar ekonomi pasar populis yang menentangnya. Memang ada pendapat Kwik Kian Gie yang tidak menyetujui logika ekonomi kenaikan harga BBM sebagai cara mengurangi subsidi atas harga BBM. Menurut perhitungannya biaya produksi premium sekarang hanya Rp. 500,- per liter, sehingga dengan harga eceran premium Rp. 2.000,- per liter Pertamina masih untung Rp. 1.500,- per liter. Ini berarti dengan harga yang berlaku sekarang sebenarnya tidak diperlukan subsidi yang harus ditanggung APBN. Kenaikan harga BBM bukan cara mengurangi subsidi karena subsidi itu sendiri sebenarnya tidak ada.
Aspek lain yang selalu “tersembunyi” adalah mengapa selalu terjadi defisit APBN. Apakah tidak mungkin pemerintah membatasi belanja /pengeluarannya dalam APBN sehingga juga tidak ada keharusan menaikkan harga BBM atau bahkan tidak ada keharusan mencari pinjaman luar negeri hanya untuk menutup defisit APBN.

Besar Pasar daripada Tiang

Tiang utama yang menyangga sebuah rumah harus kuat agar rumah tidak ambruk. Dan pasak-pasak yang disangga tiang harus tidak boleh lebih besar atau lebih berat daripada tiang-tiang penyangganya. Itulah bunyi pepatah yang menasehatkan setiap rumah tangga agar hidup hemat, jangan sampai belanja melebihi kemampuan pendapatan/penghasilan bulanan. Jika pengeluaran/belanja keluarga melebihi penghasilan, maka terjadilah defisit yang harus ditutup dengan utang, atau satu keluarga harus pergi ke rumah gadai untuk menggadaikan harta milik keluarga.
Bagaimana dengan rumah tangga negara? Mengapa APBN harus defisit? Pada zaman Orde Lama (1959-1966) pemerintah hampir selalu mengalami defisit APBN, dan defisit itu ditutup dengan utang pada Bank Sentral dengan mencetak uang baru. Pencetakan uang baru memang “hak” pemerintah. Kalau pencetakan uang baru memang dipakai untuk menciptakan produksi, defisit APBN tidak apa-apa. Tetapi kalau pencetakan uang baru dipakai untuk membangun proyek-proyek mercu suar yang tidak menghasilkan barang dan jasa baru yang dibutuhkan masyarakat, maka hasilnya adalah inflasi atau kenaikan harga-harga umum. Inflasi terjadi karena jumlah uang yang beredar bertambah berhadapan dengan jumlah barang dan jasa yang tidak bertambah.
Sejak Orde Baru ada cara baru menutup defisit APBN. Pemerintah tidak mencetak uang baru tetapi berhutang dari luar negeri karena ekonomi Orde Baru memang ditandai mulai berperannya modal asing, baik berupa penanaman modal langsung (FDI) maupun utang luar negeri. Namun logika ekonominya sama dengan pencetakan uang baru. Tambahan uang beredar tidak akan menimbulkan inflasi kalau modal asing atau utang luar negeri berakibat pada kenaikan produksi barang dan jasa. Kalau modal/utang luar negeri bersifat “produktif” maka kegiatan ekonomi nasional akan meningkat yang berakibat pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Bahkan utang luar negeri untuk mengimpor beras/gandum “PL 480” dari Amerika Serikat pada awal Orde Baru dianggap “produktif” karena berakibat naiknya pasokan beras/gandum dalam negeri untuk menutup defisit produksi dalam negeri.
Logika ekonomi utang luar negeri menjadi kacau sesudah krisis moneter 1997/1998 ketika utang luar negeri tidak dipakai untuk meningkatkan kemampuan produksi dalam negeri, tetapi untuk menutup defisit APBN dan kemudian utang dalam negeri untuk mendanai penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan. Utang dalam negeri ini adalah untuk “menyelamatkan” bank-bank milik negara (BUMN) maupun bank-bank swasta nasional yang sejak krismon telah kekurangan/kehabisan likuiditas karena banyaknya kredit macet. Program penyelamatan bank ini sangat mahal, mencapai Rp. 650 trilyun dengan bunga rata-rata Rp. 65 trilyun per tahun, yang harus dibayar oleh pemerintah dan dimasukkan sebagai pos pengeluaran APBN. Pengeluaran pemerintah yang Rp. 65 trilyun ini berarti sekitar 20% APBN yang menambah besarnya “pasak” dan yang terlalu berat untuk disangga “tiang-tiang” hasil penerimaan pajak pemerintah.
Demikian kiranya jelas utang luar negeri pemerintah sekarang tidak saja tidak produktif, tetapi sebagian besar sangat keliru karena hanya untuk membantu “menyelamatkan” bank, yang pada gilirannya berarti mensubsidi orang-orang kaya yang bermodal banyak. Di antara orang-orang kaya ini adalah pemilik bank-bank swasta nasional, dan kini melalui pembelian saham juga menjadi pemilik bank-bank milik negara. Itulah sebabnya kini banyak bank melaporkan keuntungan luar biasa, padahal pertumbuhan ekonomi belum cukup tinggi dan ekonomi rakyat (UKM) tetap berteriak kekurangan modal usaha, dan amat sulit memperolehnya, meskipun pemerintah sudah membuat skema-skema kredit khusus bagi ekonomi rakyat (UKM). Sistem perbankan Indonesia terbukti sangat berpihak pada orang kaya dan secara tidak langsung “memusuhi” orang miskin.
Kesimpulan kita jelas bahwa kenaikan harga BBM tidak tepat dan tidak adil kalau dijadikan alasan untuk mengurangi defisit APBN karena defisit itu sendiri didisain untuk mensubsidi orang-orang kaya.
Istilah kompensasi subsidi yang sering dipakai juga tidak tepat karena sekali lagi subsidi itu selama ini lebih banyak dinikmati orang kaya yang banyak menggunakan BBM. Subsidi itu harus dihapuskan sama sekali, tidak perlu dialihkan. Sebagai gantinya pemerintah perlu menyusun program-program khusus pemberantasan kemiskinan yang langsung diarahkan kepada keluarga-keluarga miskin baik di bidang pangan, pendidikan, maupun bidang kesehatan. Program-program penanggulangan kemiskinan yang nyata-nyata salah sasaran seperti raskin (beras untuk penduduk miskin) harus dihapuskan. Program raskin disamping tidak pernah mengena pada sasaran orang miskin karena diberikan kepada seluruh warga, yang miskin maupun yang tidak miskin, juga berakibat menekan harga beras pada tingkat petani sehingga mengurangi gairah petani memproduksi padi. Ini berakibat fatal.
Kekeliruan kebijakan pemerintah yang memaksakan diri membuat pengeluaran yang melebihi pendapatan pajak pernah pula secara sangat lugas diingatkan oleh Bung Hatta menjelang diterapkannya ekonomi komando tahun 1959:
Anggaran belanja harus seimbang. Kalau tidak apa yang dibangun dengan tangan kanan, dilemahkan lagi atau diruntuhkan dengan tangan kiri .... Di atas dasar anggaran belanja yang senantiasa defisit, tidak dapat disusun rencana berkala seperti rencana lima tahun ... anggaran belanja yang setimbang adalah syarat mutlak untuk melaksanakan ekonomi terpimpin yang sebenarnya (M. Hatta, 1977: 78)

 

Asas Ekonomi Pancasila

Apabila masih ada yang mengira bahwa kebijakan ekonomi Orde Baru telah didasarkan pada asas-asas ekonomi Pancasila, maka ada baiknya kita kutip lagi pernyataan Bung Hatta ketika berpidato memperingati hari lahirnya Pancasila 1 Juni 1977, bahwa pemerintah belum pernah secara sungguh-sungguh mentaati asas-asas ekonomi Pancasila:
Camkanlah, negara Republik Indonesia belum lagi berdasarkan Pancasila, apabila pemerintah dan masyarakat belum sanggup mentaati UUD 1945, terutama belum dapat melaksanakan Pasal 27 ayat (2), Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal 34. (Moh. Hatta, Pengertian Pancasila, 1 Juni 1977).
Meskipun Pancasila adalah ciptaan Bung Karno, tokh Bung Hatta yang merumuskan Pasal 33 UUD 1945 tentang kesejahteraan sosial, sangat percaya pada keampuhan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, dan selalu mendukung setiap upaya mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Bung Karno memperkenalkan konsep Demokrasi Terpimpin (1959), Bung Hatta mengembangkan pemikiran yang paralel di bidang ekonomi dengan nama Ekonomi Terpimpin.
Ciri khas ekonomi terpimpin adalah tidak diserahkannya sistem ekonomi pada “mekanisme pasar” yang bekerja terlalu bebas atau terlalu merdeka, sehingga ekonomi dan aturan-aturannya dikuasai oleh pengusaha-pengusaha kuat dengan korban ekonomi rakyat.
Ekonomi terpimpin adalah lawan daripada ekonomi merdeka, yang terkenal dengan semboyannya laissez faire. Apabila ekonomi merdeka menghendaki supaya pemerintah jangan campur tangan dalam perekonomian rakyat dengan mengadakan peraturan ini dan itu, ekonomi terpimpin menuju yang sebaliknya. Pemerintah harus aktif bertindak dan mengadakan berbagai peraturan terhadap perkembangan ekonomi dalam masyarakat agar tercapai keadilan sosial. Membiarkan perekonomian berjalan menurut apa yang dikatakan permainan merdeka daripada tenaga-tenaga masyarakat (price mechanism) berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan yang kuat (M. Hatta, Ekonomi Terpimpin, April 1959).
Ciri-ciri sistem ekonomi terpimpin ini sama dengan ciri-ciri sistem ekonomi Pancasila yang merupakan sistem ekonomi yang “dibina” dan dikembangkan pada awal Orde Baru (1966). Namun justru karena pada akhir Orde Lama (1966) itu ekonomi terpimpin telah kebablasan menjadi “ekonomi komando”, maka pembaruannya menjadi demokrasi ekonomi dijadikan alasan untuk menolak segala ciri sistem ekonomi terpimpin sebagaimana digambarkan Bung Hatta tersebut di atas. Ciri-ciri demokrasi ekonomi selanjutnya digambarkan sebagai sistem “ekonomi pasar dengan perencanaan”, dengan peranan besar diberikan kepada dunia usaha swasta baik swasta nasional maupun swasta asing dan negara harus mengurangi peranannya dalam perekonomian.
Pemikiran ekonomi Pancasila dari Emil Salim tahun 1966 yang diuraikan tuntas oleh Dawam Rahardjo tidak berlanjut karena tidak ada dukungan kelembagaan dari FE-UI. Salah satu alasan dari kemandegan pemikiran ekonomi Pancasila Emil Salim adalah karena Emil Salim keliru menganggap hanya sila ke-5 saja, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang relevan dengan sistem ekonomi Pancasila. Yang benar, seluruh sila harus dijadikan acuan kebijakan dan perilaku ekonomi warga masyarakat.

Pada tahap berikutnya, pemikiran tentang sistem ekonomi Pancasila mendapat dukungan kelembagaan dari Fakultas Ekonomi UGM tahun 1980 dan 1981. Pada HUT ke-25, FE-UGM mengadakan Seminar Nasional Ekonomi Pancasila pada 19 September 1980 yang diteruskan setahun kemudian pada 19 September 1981. Selama 4 bulan (Mei-Agustus 1981), berkembang polemik nasional yang “meriah” tentang ekonomi Pancasila, sampai-sampai Presiden Soeharto pun menyinggungnya dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1981. Disayangkan bahwa kritik-kritik tajam oleh pemikir-pemikir Ekonomi Pancasila pada tahun 1980-1981 yang mengingatkan bahaya paham kapitalisme-liberalisme, justru “dipadamkan” oleh kondisi keprihatinan ekonomi nasional karena anjlognya harga ekspor minyak bumi Indonesia tahun 1982. Faktor “resesi ekonomi nasional” ini sudah cukup untuk “menolak” pikiran-pikiran sehat ekonomi Pancasila dari ekonom-ekonom FE-UGM yang menghendaki peranan besar dari pemerintah/negara dalam mengatur (sistem) perekonomian nasional. Maka mulailah deregulasi atau liberalisasi dalam perekonomian Indonesia mulai 1983 sampai 1994.

Tragedi berakhirnya Orde Baru 1998 sangat mirip suasana politik ketika Republik Indonesia memutuskan kembali ke UUD 1945 bulan Juli 1959. Semangat reformasi dalam bidang ekonomi lebih ditekankan pada asas kerakyatan yang mengacu hanya pada sila ke-4 Pancasila, bukan Pancasila secara keseluruhan. Maka mulai populer konsep Sistem Ekonomi Kerakyatan  yang “menggantikan” sistem Ekonomi Pancasila.
Demikian salah satu sasaran utama prgram aksi meluruskan reformasi hasil Dialog Kebangsaan UGM 11-14 Maret 2004 adalah “terciptanya penguatan ekonomi rakyat dan terwujudnya sistem ekonomi yang mengakar pada budaya Indonesia seperti dicita-citakan dalam Pasal 33 UUD 1945 asli dan penjelasannya”. Selanjutnya program aksi utama yang diusulkan adalah “Menyusun UU Perekonomian Nasional yang didahului dengan revisi amandemen UUD untuk kembali ke Pasal 33 UUD 1945 asli dengan penjelasannya, diikuti dengan sosialisasi dan pengembangan pendidikan ekonomi Pancasila. Pada Dies ke-55 Desember 2004 UGM bertekad merevitalisasi jati dirinya yaitu Pancasila dengan mengembangkan Bulaksumur School of Thoughts.

Kesimpulan: Kaji Ulang Kenaikan Harga BBM

Argumentasi makalah ini adalah bahwa rencana kenaikan harga BBM, yang sebagian sudah dilaksanakan (Elpiji dan Petramax) yang jelas-jelas ditentang rakyat karena akan mendorong kenaikan harga-harga umum, sulit diterima logika ekonomi Pancasila. Analisis ekonomi lebih mendalam tidak mendukungnya, lebih-lebih jika alasan utama yang dipakai adalah keharusan menghilangkan subsidi. Subsidi terhadap harga BBM yang selalu disebut pemerintah akan meningkat dengan hampir Rp. 50 trilyun (jika harga minyak naik menjadi US$ 36 per barrel) sulit diterima, karena Indonesia bukan pengimpor minyak.
Dalam pada itu upaya pemerintah mengurangi atau menghilangkan subsidi atas harga BBM selalu akan ditentang masyarakat jika pemerintah tetap mempertahankan kebijakan memberikan subsidi bunga dana rekapitalisasi perbankan yang Rp. 65 trilyun per tahun. Subsidi ini diberikan kepada dunia perbankan yang berpihak penuh pada orang-orang kaya pemilik modal. Masyarakat akan menuntut pengkajian ulang seluruh kebijakan subsidi agar pemerintah tidak lagi berpihak pada perusahaan perbankan dan pengusaha kuat yang sejauh ini lebih banyak mengejar untung dan sama sekali tidak menunjukkan keberpihakan pada upaya-upaya penguatan ekonomi rakyat.
Memang ada gejala sangat kuat pemerintah “SBY-Kalla” yang dikuasai pemikiran “pedagang” dan cenderung membela kepentingan pengusaha kuat, akan mewujudkan kekhawatiran Adam Smith (1776) yang sejak awal sudah memperingatkan:
People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices.
Orang-orang dari bidang usaha yang sama jarang bertemu, tetapi (kalau mereka bertemu) pembicaraan-pembicaraan mereka berakhir dalam bentuk persekongkolan melawan kepentingan umum, atau dalam penemuan cara-cara menaikkan harga-harga.
Bukankah Menko Perekonomian justru lebih membela kaum pedagang dan tidak akan mengintervensi Pertamina dalam menaikkan harga BBM ketika dilaporkan menyatakan “Kalau tidak mau, ya tidak usah membeli gas”? Pernyataan “pedagang” ini jelas menyakitkan hati rakyat kecil.
Rupanya pemerintah perlu disadarkan kembali pada semangat awal Orde Baru yaitu memelihara anggaran berimbang dengan membatasi anggaran pengeluarannya sesuai kemampuannya mengumpulkan pajak. Pemerintah sangat dianjurkan tidak melanggar pepatah “Besar pasak daripada tiang”.
Akhirnya strategi pembangunan nasional jangka panjang Indonesia harus berdasar Pancasila dan memenuhi kewajiban-kewajiban UUD  1945 yaitu Pasal 27 ayat (2), Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal 34. Hanya jika ke-4 pasal-pasal ekonomi dan sosial ini ditaati maka Pancasila dapat diamalkan dan tercapailah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
 
4 Januari 2005
 
Lampiran
Undang-undang Dasar 1945
 
Pembukaan
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pasal 27

(2)
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 31
(1)
Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
(2)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 33
(1)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3)
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 34
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
***

Senin, 08 April 2013

PEMERINTAHAN DAERAH DILIHAT DARI BEBERAPA ASPEK

PEMERINTAHAN DAERAH DILIHAT DARI BEBERAPA ASPEK: KEUANGAN, BIROKRASI, ETIKA  DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN
Oleh; ???
Abstrak

Salah satu unsur reformasi adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan pemerintah daerah dalam mengembangkan otonomi tersebut. Pertama, pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Kedua, pemerintah daerah perlu mengembangkan birokrasi  yang sehat dan memiliki wawasan dan jiwa wirausaha. Ketiga, prinsip kepatutan dalam pemerintahan yang  tidak terlepas dari kewajiban etika dan moral serta budaya baik antara pemerintah dengan rakyat, antara lembaga/pejabat pemerintahan dengan pihak ketiga. Keempat, partisipasi masyarakat dalam pembangunan sehingga pemerintah daerah mendapat  petunjuk mengenai kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Keywords:  Pemerintahan daerah, keuangan dan anggaran daerah, birokrasi, etika dan partisipasi masyarakat.


A. Tuntutan Otonomi Daerah
Krisis ekonomi dan kepercayaan telah membuka jalan untuk melakukan reformasi total di seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia. Tema sentralnya adalah mewujudkan masyarakat madani, terciptanya good governance, dan mengembangkan model pembangunan yang berkeadilan. Di samping itu, reformasi ini telah juga memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses pengembangan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaruan paradigma di berbagai bidang kehidupan.
Salah satu unsur reformasi adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Tuntutan ini dinilai wajar, paling tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di Indonesia. Arahan dan statutory requirement yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan, bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Besarnya arahan dari pemerintah pusat itu didasarkan pada dua alasan utama, yaitu untuk menjamin stabilitas nasional, dan karena kondisi sumber daya daerah yang dirasa masih relatif lemah. Karena dua alasan ini, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya pandangan ini terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya, Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi seperti itu telah memunculkan masalah rendahnya akuntabilitas, memperlambat pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik serta memperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah.
Kedua, tuntutan pemberian otonomi ini juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa yang akan datang. Di era seperti ini, globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan  internasional, informasi dan ide serta transaksi keuangan. Di masa depan, pemerintah sudah terlalu besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Untuk menghadapi krisis ekonomi dan kepercayaan serta era new game yang penuh dengan new rules tersebut, dibutuhkan new strategy. Strategi itu adalah penyelenggaraan otonomi daerah. Misi utamanya adalah desentralisasi. Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreatifitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan atau kebijakan publik ke tingkat pemerintah yang lebih paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap. (Mardiasmo, 2004: 3-6)
Pengembangan otonomi pada daerah kabupaten dan kota diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian dan pemanfaatan dan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan dan perkembangan otonomi daerah pada era globalisasi adalah:
  1. Adanya transformasi kehidupan, seperti dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.
  2. Ekonomi nasional menjadi ekonomi dunia. Dinamika ekonomi nasional sangat erat terkait dengan gerak ekonomi negara lain. 
  3. Lembaga bantuan menjadi lembaga penolong dirinya sendiri
  4. Demokrasi perwakilan menjadi demokrasi partisipasi.
  5. Susunan hirarki organisasi menjadi jaringan kerja
            Kecenderungan tersebut telah menggejala pada masyarakat Indonesia, seperti pengaruh negatif dari masyarakat informatif yaitu meluasnya sikap konsumerisme dan tersingkirnya nilai budaya lokal. Menurunnya nilai rupiah terhadap nilai uang negara lain (khususnya dolar AS) yang menyebabkan kegiatan ekonomi masyarakat menjadi terpengaruh.
            Selain itu, kelembagaan-kelembagaan pun terpengaruh. Kelembagaan pemerintahan dan kelembagaan kepentingan masyarakat yang lain tidak lagi sepenuhnya dapat melayani kebutuhan masyarakat, tetapi menjadi lembaga yang menyebabkan individunya menolong diri sendiri. Lembaga hanya berfungsi sebagai fasilitator. Individunya yang lebih aktif. Tuntutan partisipasi masyarakat terhadap kebijakan publik semakin kuat sehingga apabila tidak diikutsertakan sering menimbulkan konflik.
            Keterkaitan individu selain sebagai warga negara yang melekat hak asasi manusia kepadanya, terkait juga dengan masyarakat di negara-negara lain akan melahirkan masyarakat internasional. Akibatnya terjadi individualisasi, internasionalisasi, sosialisasi dan humanisasi. Timbul budaya global dan kesadaran global sehingga terjadi hubungan sistematik, kontraksi, sifat reflektif (tumbuh kesadaran dan kemanusiaan) terhadap sekat pembatas ruang dan waktu, sehingga timbul serba muka antara resiko dan kenyataan. ( Dharma Setyawan Salam, 2004: 207-208)
            Sebagai manajer pemerintahan, pemerintahan daerah kabupaten dan kota mempunyai peranan yang besar dalam mentransformasikan perubahan yang menggambarkan perpaduan antara kenyataan yang ada dalam masyarakat dengan kebijaksanaan politik yang dikeluarkan pemerintah.
            Manajemen pemerintahan daerah dapat digerakkan dengan menempatkan budaya paternalistik pemimpin dengan memiliki:
  1. Wawasan global (global mind set)
  2. Peka terhadap perubahan yang cepat dan sistematik
  3. Kemampuan manajemen konflik
  4. Lebih menghargai proses organisasi daripada struktur hirarki formal
  5. Toleransi terhadap multikultural dan keragaman, luwes dan peka, tetapi memiliki identitas pribadi yang kuat
  6. Kemampuan memanfaatkan perubahan sosial budaya
  7. Terus menerus mempertajam keabsahan paradigma dalam berbagai kondisi sosial budaya (sui generis)
  8. Kemampuan menyusun skala prioritas secara terpadu yang berbentuk jaringan (Dharma Setyawan Salam, 2004: 212-213)

B.   Pengelolaan Keuangan dan Anggaran Daerah
Salah satu aspek pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran daerah atau anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otoritasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktifitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktifitas atau program yang menjadi prioritas dan prefernsi daerah yang bersangkutan.
Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut:
  1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah.
  2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
  3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan  perangkat daerah lainnya.
  4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas.
  5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH dan PNS-daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya.
  6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan.
  7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.
  8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, dan akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
  9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.
10.  Pengembangan sistem informasi keuangan untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian serta mempermudah mendapat informasi (Mardiasmo, 2004: 9-10)
Adapun dimensi keuangan daerah yang perlu diperhatikan adalah:
1) Kewenangan daerah dalam pemanfaatan dana perimbangan keuangan
2) Prinsip pengelolaan anggaran
3) Prinsip penggunaan pinjaman dan deficit spending.
4) Strategi pembiayaan (Mardiasmo, 2004: 26)
            Dalam rangka otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberi keleluasaan (diskresi) untuk mengelola dan memanfaatkan sumber penerimaan daerah yang dimilikinya sesuai dengan aspirasi masyarakat daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerah tersebut agar tidak mengalami defisit fiskal.
            Prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah tersebut meliputi:
1) Akuntabilitas
            Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berprilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal secara baik.
2) Value for Money
Dalam konteks otonomi daerah, value for money merupakan jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai good governance. Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik (public money) yang mendasarkan konsep value for money, maka diperlukan Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah dan Anggaran Daerah yang baik. Hal tersebut dapat tercapai apabila pemerintah daerah memiliki sistem akuntasi yang baik.
3) Kejujuran dalam Pengelolaan Keuangan Publik (Probity)
            Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan
4) Transparansi
            Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat setempat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
5) Pengendalian
            Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus sering dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu diperlukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan (Mardiasmo, 2004: 29-30).
C.   Birokrasi
Era new game juga mengharuskan pemerintah daerah untuk mempersiapkan diri secara institusional. Salah satunya adalah dengan mengembangkan lembaganya sebagai lembaga yang memiliki birokrasi yang sehat dan memiliki wawasan dan jiwa wirausaha. Kesan umum terhadap kinerja birokrasi oleh masyarakat senantiasa dikaitkan dengan segala sesuatu yang serba lambarn, lamban dan berbelit-belit serta formalitas. Dalam penyelesaian urusan kinerja birokrasi selalu mendapatkan hambatan yang memakan waktu, sehingga selalu tertunda penyelesaiannya. Sebenarnya, dengan birokrasi tugas-tugas yang diberikan adalah lebih teratur dan lebih tertib sehingga tidak diharapkan akan terjadi hambatan atau penundaan.
Arus otonomi semakin membuka pandangan baru bagi kinerja birokrasi, dalam rangka mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikan kesan awal mulai berubah dengan kinerja setelah memahami birokrasi yang dirasakan mempunyai fungsi yang positif. Perubahan kinerja ini menjadi suatu kenyataan yang bersifat imperatif.
Masyarakat yang dinamis telah berkembang dalam berbagai kegiatan yang semakin membutuhkan tenaga-tenaga yang profesional. Seiring dengan dinamika masyarakatdan perkembangannya, kebutuhan akan pelayanan semakin komplek serata pelayanan yang semakin baik, cepat dan tepat, termasuk kinerja birokrasi yang semakin baik pula dalam pelaksanaan otonomi daerah.
 Birokrasi yang berada di tengah-tengah masyarakat dinamis tersebut tidak dapat tinggal diam, tetapi harus mampu memberikan berbagai kebutuhan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini perlu mendapat perhatian birokrasi dalam mengantisipasi akan kebutuhan pelayanan tersebut:
  1. Sifat pendekatan tugas, lebih mengarah kepada pengayoman dan pelayanan masyarakat, bukan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
  2. Penyempurnaan organisasi, efisien, efektif dan profesional.
  3. Sistem dan prosedur kerja cepat, tepat dan akurat.
Birokrasi  modern tidak lagi berfikir bagaimana membelanjakan dana yang tersedia dalam anggaran, tetapi bagaimana membelanjakan anggaran yang terbatas seefisien mungkin, dan memanfaatkan apa yang diperoleh dari hasilnya.
Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan efesiensi dan profesionalisme birokrasi. Hal ini sangat penting dilakukan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan lingkungan yang akan terjadi. Pemerintah daerah perlu memperbaiki mekanisme rekruitmen pegawai negeri, memperbaiki reward and punishment system, meningkatkan gaji dan kesejehteraan pegawai serta mengubah kultur organisasi (Mardiasmo, 2004: 16).
Iklim yang kompetitif memaksa suatu masyarakat atau bangsa untuk mengembangkan kemampuannya untuk bisa ikut serta dalam persaingan yang ketat. Upaya pengembangan diri ini di satu sisi ditentukan oleh kemauan politik melalui pengambilan kebijaksanaan secara tepat. Di sisi lain, pelaksanaannya dipengaruhi oleh kehidupan sosial budaya masyarakat yang bersangkutan.
            Dengan demikian, meskipun pemerintahan nasional masih memegang peranan kekuasaaan manajerial pemerintahan negara yang besar, namun keefektifan dan keefisienan manajemen pemerintahan secara nasional sangat dipengaruhi oleh kemampuan manajemen pemerintahan tingkat bawahnya yaitu propinsi, terutama kabupaten dan kota. Hal ini dikarenakan pemerintahan kabupaten dan kota yang secara langsung mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam ikatan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Politik pembangunan nasional yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi pada masa orde baru belum sepenuhnya menguntungkan rakyat Indonesia. Politik pembangunan orde baru telah menciptakan pola hubungan negara-masyarakat (Zero Sum). Kekuatan negara yang sangat besar berhadapan dengan kekuatan masyarakat sipil yang sangat lemah. Pola tersebut telah menimbulkan dampak negatif yang sangat menghambat perkembangan demokrasi. Terjadinya hal tersebut dikarenakan birokrasi yang sangat represif, otoritarian, sentralistik, korup dan manipulatif.
            Pada hakikatnya dasar pemikiran otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang dari manajemen pemerintahan tingkat atas kepada manajemen pemerintahan tingkat bawah. Tujuannya adalah untuk mencapai penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang efektif dan efisien. Hal ini merupakan hasil  dari pelaksanaan otonomi daerah selama 25 tahun melalui Undang-Undang no 5 tahun 1974 yang menunjukkan bahwa upaya penyelenggaraan manajemen pemerintahan belum dapat  mencapai hasil yang efektif dan efisien dalam kerangka UUD 1945. ( Dharma Setyawan Salam, 2004: 205-206)
Undang-undang No 32 tahun 2004 mengisyaratkan adanya prinsip pemberian otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen pemerintahan daerah dan pelayanan masyarakat sebagai daerah otonom. Daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban masyarakat.
Hal ini berarti undang-undang tersebut menunjuk kepada manajemen pemerintahan yang bertumpu pada nilai demokrasi, pemberdayaan, dan pelayanan. Bentuknya adalah keleluasaan dalam mengambil keputusan yang terbaik dalam batas-batas kewenangannya agar seluruh kompetensi yang dimiliki selalu berkembang dalam mendukung kualitas pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat.
Pemerintah daerah diharapkan lebih siap dalam menyongsong setiap perubahan yang akan terjadi. Nilai demokrasi memberi ruang yang lebih luas kepada masyarakat (warga negara) dalam menentukan pilihan dan mengeksperesikan diri secara rasional. Dominasi kekuatan negara dalam menentukan pilihan publik sudah semakin berkurang. Aparatur pemerintah tidak harus selalu melaksanakan sendiri pekerjaannya, tetapi justru lebih banyak bersifat mengarahkan atau memilih kombinasi yang paling optimal antara melaksanakan atau mengarahkan. Hal yang sudah bisa dilaksanakan oleh masyarakat hendaknya tetap diserahkan kepada masyarakat, pemerintah cukup melakukan upaya pemberdayaan atau meningkatkan kemampuannya.
Gaya menajemen pemerintahan wirausaha dapat diterapkan untuk mencapai pemerintahan daerah yang efektif dengan bercirikan:
  1. Pemerintahan daerah lebih memutuskan perhatian kepada upaya pengaturan dan pengendalian daripada sebagai pelaksanaan langsung pekerja publik
  2. Pemerintah daerah mendorong kompetensi antar pemberi jasa .
  3. Adanya pengawasan dari masyarakat atas birokrasi
  4. Mengukur kinerja dengan memusatkan kepada hasil, bukan masukan
  5. Manajemen digerakkan oleh tujuan (misi) bukan oleh ketentuan dan peraturan.
  6. Meninjau kembali status masyarakat sebagai obyek pembangunan dengan menawarkan kepada mereka banyak pilihan baik secara kuantitas maupun kualitas
  7. Berusaha mencegah masalah sebelum muncul
  8. Berusaha untuk memperoleh uang, tidak hanya membelanjakannya
  9. Melaksanakan manajemen partisipatif dalam birokrasi
10.  Lebih menyukai mekanisme pasar daripada mekanisme birokrasi. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 213-216)
Pendapat yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh sejumlah ilmuwan di bidang manajemen dan administrasi publik seperti Osborne dan Gaebler (1992) dengan konsepnya “reinventing government” yang sangat monumental.
            Keberhasilan manajemen pemerintahan daerah dalam menyongsong otonomi daerah sangat tergantung kepada kemampuannya untuk memanfaatkan kebijakan otonomi daerah sebagai daya penambah kekuatan untuk mengatur dan menggerakkan segenap sumber daya organisasi yang ada, baik stuktur organisasi maupun arah dan gaya kebijakan.
            Transformasi sosial-budaya dapat menciptakan iklim manajemen pemerintahan daerah yang efektif dan luwes dan proaktif terhadap dinamika perubahan dalam masyarakat (lokal, nasional, regional dan internasional) bekerjasama dengan pemerintah nasional dan pemerintah propinsi, termasuk pemerintah daerah kabupaten dan kota di dalamnya, serta organisasi lain yang berhubungan dengan pembangunan daerah baik secara langsung maupun tidak langsung.
            Pelayanan umum (publik) perlu alokasi yang lebih adil selaras dengan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Hal ini menunjuk kepada perlunya manajemen pemerintah daerah kabupaten yang lebih efektif mengandung misi pelayanan yang prima dan aspiratif yang menjamin kebebasan, keterbukaan dan pendelegasian wewenang yang proporsional. Aparatur pemerintah yang memiliki insight, imajinasi dan inovasi tinggi sangat diperlukan agar pemerintah daerah mampu berbuat yang semula dianggap tidak mungkin menjadi mungkin.
D.   Etika Politik dan Pemerintahan
            Dari segi etika, pemerintahan adalah perbuatan atau kegiatan yang erat kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan. Karena itu perbuatan pemerintahan tidak terlepas dari kewajiban etika dan moral serta budaya baik antara pemerintah dengan rakyat, antara lembaga/pejabat pemerintahan dengan pihak ketiga. Perbuatan semacam ini biasanya disebut prinsip kepatutan dalam pemerintahan dengan pendekatan moral sebagai dasar berpikir dan bertindak. Prinsip kepatutan ini menjadi landasan etis bagi pejabat dan lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas kepemerintahan.
            Etika pemerintahan tersebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara dalam selaku manusia sosial. Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika kepemerintahan adalah:
1)      Penghormatan terhadap hidup manusia dan hak asasi manusia lainnya.
2)      Kejujuran (honesty) baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya.
3)      Keadilan (justice) dan kepantasan, merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.
4)      Fortitude, yaitu kekuatan moral, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan dan nasib.
5)      Temperance, yaitu kesederhanaan dan pengendalian diri
6)      Nilai-nilai adama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar umat manusia harus bertindak secara profesional dan bekerja keras.
Karena pemerintahan itu sendiri menyangkut pencapaian tujuan negara (dimensi politis), maka dalam perkembangannya etika pemerintahan tersebut berkaitan dengan etika politik. Etika politik subjeknya adalah negara, sedangkan etika pemerintahan subjeknya adalah pejabat dan para pegawai.
Etika politik berhubungan dengan dimensi politik kehidupan manusia, yaitu berhubungan dengan pelaksanaan sistem politik seperti tatanan politik, legitimasi dan kehidupan berpolitik. Bentuk nilai keutamaannya seperti demokrasi, martabat manusia, kesejahteraan warga negara, dan kebebasan berpendapat.
Etika politik juga mengharuskan sistem politik menjunjung nilai-nilai keutamaan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis maupun normatif. Misalnya legitimasi politik harus dapat dipertanggungjawabkan demikian juga tatanan kehidupan politik dalam suatu negara.
Etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan-keutamaan yang harus dilaksanakan oleh para pejabat dan pegawai pemerintahan. Karena itu dalam etika pemerintahan membahas perilaku penyelenggara pemerintahan, terutama penggunaan kekuasaan, wewenang termasuk legitimasi kekuasaan dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik atau buruk. Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam undang-undang dasar baik yang dikatakan oleh dasar negara maupun dasar-dasar perjuangan negara, serta etika pegawai pemerintahan. Wujudnya di Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasr 1945 sekaligus Pancasila sebagai dasar negara, serta doktrin dan etika Pegawai Negeri Sipil.
Doktrin Pegawai Negeri Sipil dinamakan “Bhinneka Karya Abdi Negara” yaitu walaupun anggota-anggota KORPRI melaksanakan tugas di berbagai bidang dan jenis karya yang beraneka ragam, tetapi adalah dalam rangka pelaksanaan pengabdian kepada bangsa, negara dan masyarakat Indonesia. Etika Pegawai Negeri Sipil disebut dengan “Panca Prasetya KORPRI”, yaitu anggota KORPRI beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah insan yang:
1)      Setia dan taat kepada negara kesatuan dan pemerintah Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2)      Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara.
3)      Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan.
4)      Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan KORPRI
5)      Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 64-65)
Widjaja (Dharma Setyawan Salam, 2004: 67) mengatakan bahwa etika berupa ajaran untuk mencapai tujuan dalam mewujudkan pemerintahan yang stabil dan berwibawa menghendaki kondisi yang baik dari pelaksana-pelaksananya. Dalam rangka menegakkan suatu pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, maka etika pemerintahan juga harus memperhatikan perkembangan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai hubungan yang sinergis antara negara, swasta dan masyarakat.
Sejarah pemerintahan di Indonesia membuktikan bahwa etika pegawai negeri yang tercantum dalam Panca Prasetya KORPRI maupun yang diatur secara tersirat dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum mampu menjadi pedoman perilaku bagi pejabat dan Pegawai Negeri Sipil di Indonesia. Misalnya, praktik-praktik penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi dan nepotisme tetap marak dalam setiap babakan sejarah pemerintahan di Indonesia.
Karena itu etika pemerintahan harus diimplementasikan secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan (baik undang-undang maupun peraturan daerah). Pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini didasarkan pada hakikat pemerintahan berdasarkan pandangan etika pemerintahan adalah penerapan suatu kewenangan yang berdaulat secara berkelanjutan berupa penataan, pengaturan, penertiban, pengamanan dan perlindungan terhadap sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu baik secara arbiter maupun berdasar pada peraturan perundang-undangan.
Di samping itu, pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan etika kepemerintahan, yaitu:
1)      Menciptakan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.
2)      Menempatkan segala perkara pada tempatnya sesuai dengan kodrat, harkat, martabat manusia serta sesuai dengan fungsi, peran dan misi pemerintahan.
3)      Terciptanya masyarakat demokratis.
4)      Terciptanya ketertiban, kedamaian, kesejahteraan dan kepedulian.
Dapat disimpulkan bahwa pemerintahan pada dasarnya merupakan upaya menjalankan kekuasaan untuk mencapai tujuan tertentu. Namun demikian, dalam menjalankan pemerintahan itu, penguasa (termasuk aparatur pemerintahan daerah) harus bersikap adil, jujur, menjunjung tinggi hukum dan memanusiakan manusia. Karena itu dalam etika pemerintahan, memerintah berarti menerapkan kekuasaa secara adil (baik secara hukum alam maupun hukum positif) dan memanusiakan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya.
Implikasinya dalam menerapkan kekuasaan tidak berdasarkan kekuasan fisik tetapi berdasr asas kesamaan/kesetaraan, kebebasan, kepedulian/solidaritas, dan menjunjung tinggi hukum. Dengan penerapan asas ini maka diharapkan penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan dapat dihindari.
Sebaliknya, penyelenggaraan pemerintahan (pemerintahan daerah) juga memerlukan kekuasaan dalam bentuk wewenang dan otoritas. Dengan kekuasaan ini, pemerintah (pemerintah daerah) memiliki hak untuk menuntut ketaatan dan memberi perintah kepada orang-orang yang diatur atau diperintahnya. Namun demikian, kekuasaan, wewenang, otoritas serta hak-hak yang melekat itu harus memiliki legitimasi (keabsahan) berdasarkan norma tertentu. Di samping itu, sudah menjadi kewajiban moral bagi aparatur pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan segala sikap dan perilakunya.
            Syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh aparatur pemerintahan daerah dalam setiap perbuatan hukumnya agar dapat diterima oleh masyarakat adalah sebagai berikut:
1)      Efektifitas. Kegiatan harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau direncanakan.
2)      Legitimasi. Kegiatan pemerintah daerah harus dapat diterima masyarakat dan lingkungannya.
3)      Perbuatan para aparatur pemerintahan tidak boleh melanggar hukum.
4)      Legalitas. Semua perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan hukum yang jelas.
5)      Moralitas. Moral dan etika umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi.
6)      Efisiensi. Kehematan biaya dan produiktivitas wajib diusahan setinggi-tingginya.
7)      Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 88-89)
E.   Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Orientasi pembangunan pada pemerintahan sentralistik dan desentralistik berbeda dalam konteks untuk apa suatu pembangunan atau kebijakan dirumuskan. Pada pemerintahan sentralistik pembangunan seringkali justru digunakan untuk kepentingan pemerintah itu sendiri dan sedikit yang diberikan kemanfaatannya kepada masyarakat. Pada pemerintahan desentralistik pembangunan atau kebijakan idealnya dirumuskan justru untuk memenuhi kebutuhan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Kelemahan pada pemerintahan desentralistik, seringkali kebijakan berjalan lambat karena harus memenuhi aspirasi dari berbagai kompenen dan lapisan masyarakat, sedangkan pada pemerintahan sentralisitik, suatu kebijakan bisa dijalankan dengan cepat. Namun demikian, secara ideal hasil yang diharapkan dari dua pola perumusan dan pelaksanaan kebijakan di atas, pada pemerintahan yang menganut desentralisasi lebih memenuhi aspirasi publik secara demokratis dibandingkan pendekatan pertama.
Untuk melaksanakan pembangunan daerah secara tepat, efektif dan efisien, dibutuhkan kredibilitas sumber daya manusia masyarakat itu sendiri, dan kualitas aparatur pemerintahan. Di sini dibutuhkan adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah daerah yang mampu merespon persoalan masyarakat setempat. Pembangunan daerah merupakan tugas yang terbebankan kepada seluruh masyarakat di daerah. Pembangunan daerah tidak hanya dimonopoli oleh pemerintah kabupaten dan kota saja, melainkan juga tugas dari masyarakat untuk mengarahkan, menentukan dan mengontrol proses pelaksanaan pembangunan daerah itu sendiri.
Bowman dan Hampton (dalam Ainur Rohman dkk, 2009: 51) menyatakan bahwa tidak ada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang sangat luas dapat menentukan kebijakan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijakan dan progam-programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi. Karena itu, urgensi pelimpahan kebutuhan atau penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat, baik dalam konteks politis maupun secara administratif, kepada organisasi atau unit di luar pemerintah pusat menjadi hal yang sangat penting untuk menggerakkan dinamika sebuah pemerintahan. Sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi pada akhirnya menjadi pilihan akibat ketidakmungkinan sebuah negara yang wilayahnya luas dan penduduknya banyak untuk mengelola manajemen pemerintah secara sentralistis.
Desentralisasi dalam hal ini juga diminati karena di dalamnya terkandung semangat demokrasi untuk mendekatkan partisipasi masyarakat dalam menjalankan sebuah pembangunan. Pada perkembangannya lebih jauh, desentralisasi lalu menjadi semangat utama bagi negara-negara yang menyepakati demokrasi sebagai landasan gerak utamanya. Kesamaan orientasi desentralisasi dan demokratisasi inilah yang membuat sebuah pemerintahan di masa kini tidak bisa lagi memerintah secara sentralistiks. Terdapat kesadaran baru di kalangan para penyelenggara pemerintahan bahwa masyarakat merupakan pilar utama yang harus dilibatkan dalam berbagai proyek pembangunan.
Isu demokrasi yang semakin menguat terutama di negara-negara berkembang, yang oleh Hungtington diistilahkan sebagai kekuatan gelombang ketiga (third wave) merupakan angin segar bagi semangat mengembangkan desentralisasi secara teoritik. Demokrasi yang mempersyaratkan tumbuhnya masyarakat sipil ditopang dengan sistem pemerintahan desentralistik yang juga mempersyaratkan partisipasi masyrakat secara penuh. Masyarakat sipil dan partisipasinya dalam pembangunan suatu negara merupakan bagian tak terpisahkan.
Abdul Wahab (Ainur Rohman dkk, 2009: 52) menyatakan bahwa wacana desentralisasi dalam kepustakaan politik dan pemerintahan lokal sebenarnya berangkat dari tradisi pemikiran politik yang poliarkis. Pemikiran politik poliarkis adalah sebuah pemikiran yang memberikan apresiasi tinggi terhadap adanya ruang kebebasan bagi masyarakat. Pemikiran ini juga membiasakan diri dengan pemikiran-pemikiran alternatif untuk memecahkan kebutuhan dari suatu masalah, terutama ditujukan untuk hadirnya unit-unit politik independen di luar cakupan negara. Isu demokratisasi di negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga pada era 1980an turut memberikan andil bagi semakin majunya studi-studi baru tentang desentralisasi. Secara konseptual, perspektif politik desentralisasi (political decentralization perspective) seperti pada fokus studi dari Mawhood, Goldberg, Kingsley, Sherwood, Rondinelli dan banyak pakar lainnya merupakan sumbangan atas perkembangan pemerintahan modern yang bersifat devolutif. Secara prinsip dikemukakan bahwa desentralisasi adalah devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (the devolution of power from central to local government).
Di Indonesia, keberadaan UU No 5 Tahun  1974 tentang Pemerintahan Daerah dianggap sebagai sumber sentralisasi kebijakan pembangunan. Dengan datangnya reformasi pemerintahan dan melahirkan UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, dan direvisi dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah lebih membuka peluang partisipasi publik direalisasikan dalam rangka merumuskan kebijakan pembangunan. Walaupun demikian, masih membuka sejumlah pertanyaan, di antaranya sejauh mana keberadaan undang-undang yang demokratis tersebut melahirkan kebijakan pembangunan yang demokratis dan benar-benar menghasilkan suatu produk pembangunan yang diharapkan oleh publik.
Banyak kasus perumusan kebijakan yang belum benar-benar mengadopsi kaidah demokrasi secara substansial. Demokrasi dan partisipasi publik yang diterapkan masih sebatas isu formal dan begitu pula dalam pelaksanaan di lapangan. Di berbagai daerah masih terdapat tarik-menarik baik antara kepentingan pusat dan daerah, maupun kepentingan pemerintah dan warga, dari tarik-menarik tersebut, fakta umumnya kepentingan publik seringkali terabaikan.
Partisipasi publik dalam perumusan dan pelaksanaan APBD pada pemerintahan, misalnya, memiliki fungsi penting dalam rangka mengurangi bahkan mengantisipasi aparatur yang bermaksud melakukan penyelewengan terhadap penyaluran dan penggunaan APBD sebagaimana yang terjadi selama ini. Beberapa contoh kasus menunjukkan partisipasi publik masih lemah dalam rangka ikut serta merumuskan kebijakan pembangunan daerah yang tercermin dalam proses perumusan APBD-nya.
Penelitian yang dilakukan oleh Solidaritas Gerakan Anti Korupsi (SoRAK) Aceh, Lakaspia Institute, CAJP serta didukung oleh Partnership di enam kabupaten/kota di Aceh, yakni Kota Banda Aceh, Kota Lhoksemawe, Bireun, Aceh Tengah, Aceh Barat dan Aceh Utara, menunjukkan bahwa Anggran Belanja dan Pendapatan Kabupaten/Kota (APBK) 2007 dinilai sangat mengecewakan. Partisipasi publik masih sangat rendah. Dari enam kabupaten/kota yang diteliti diperoleh gambaran bahwa 74 % masyarakat menyatakan tidak pernah secara aktif ikut serta dalam pembangunan melalui mekanisme musyawarah kerja pembangunan (musrenbang). Selain itu, 68 % masyarakat tidak tahu persis visi dan misi kepala daerah yang baru, serta 92 % lainnya tidak pernah membaca dokumen perencanaan pembangunan pemerintah daerah (Ainur Rohman dkk, 2009: 53).
Demikian pula di beberapa daerah lainnya dapat disimpulkan bahwa partisipasi publik dalam proses pembangunan daerah belum berjalan secara maksimal. Di antara berbagai contoh tersebut, yang sering muncul adalah partisipasi dalam pengertian kualitas dan kuantitas. Adakalanya partisipasi publik bisa dinilai tinggi dalam konteks kuantitas atau keterlibatan secara fisik namun belum membuahkan hasil yang maksimal dalam konteks kualitas. Misalnya, perumusan kebijakan APBD masih sering sebatas mementingkan “keinginan” daripada “kebutuhan” yang sesungguhnya. Masyarakat belum mampu mengidentifikasi dan merumuskan kebutuhannya sendiri secara ideal, sehingga apa yang dinyatakan oleh elit pemerintahan dianggapnya sebagai suatu kebenaran.
Dalam konteks kesejahteraan, keberhasilan sejumlah pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya memang belum maksimal ditinjau dari pencapaian angka human development index (indeks pembangunan manusia- IPM) sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. Saat ini IPM daerah-daerah baru mencapai angka 60 hingga 69. Adapun angka IPM ideal menurut World Bank adalah 80 (Ainur Rohman dkk, 2009: 54)
Dalam pengamatan sementara ini, dapat disimpulkan proses yang terjadi dalam partisipasi pembangunan di daerah secara formal sudah dilaksanakan, namun belum menghasilkan arah kebijakan yang berarti  dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah yang terdapat dalam masyarakat. Ironisnya terdapat suatu tradisi umumnya program pembangunan yang seringkali hanya merupakan pengulangan-pengulangan masa lalu. Program pembangunan yang direncanakan belum didahului dengan studi dan analisis yang mendalam tentang mengapa, bagaimana, dengan cara dan untuk apa suatu kebijakan diterapkan.
Di sisi lain, aspek kepentingan politik segolongan masyarakat dan pertentangannya dengan lainnya seringkali mengabaikan kepentingan umum dari tujuan pembangunan itu sendiri. Hal tersebut di lapangan pada akhirnya mengakibatkan masyarakat menjadi korban tarik-menarik secara politis dalam proses perencanaan pembangunan itu sendiri. (Ainur Rohman dkk, 2009: 55)
            Masyarakat ikut berpartisipasi dalam pembangunan, sebab dalam diri mereka ada keinginan dan kegairahan untuk merubah masa depannya agar lebih baik. Keinginan serta kegairahan tersebut harus dapat terwujud, sebab usaha-usaha dari pembangunan itu langsung menyangkut kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Ada dua faktor yang mempengaruhi terhadap berhasil atau gagalnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh Conyers (Ainur Rohman dkk, 2009: 49) yaitu: pertama, hasil keterlibatan masyarakat itu sendiri, masyarakat tidak akan berpartisipasi atau kemauan sendiri atau dengan antusias yang tinggi dalam kegiatan perencanaan kalau mereka merasa bahwa partisipasi mereka dalam perencanaan tersebut tidak mempunyai pengaruh pada rencana akhir. Kedua, masyarakat merasa enggan berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak menarik minat mereka atau yang tidak mempunyai pengaruh langsung dapat mereka rasakan.
Dari berbagai pengalaman pembangunan daerah menunjukkan bahwa tanpa partisipasi masyarakat, maka pemerintahan daerah kekurangan petunjuk mengenai kebutuhan dan keinginan masyarakatnya. Investasi yang ditanamkan di daerah juga tidak mengungkapkan prioritas kebutuhan masyarakat. Selain itu sumber-sumber daya masyarakat yang potensial untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat daerah tidak terungkap, dan standar-standar dalam merancang pelayanan dan prasarana yang tidak tepat.
Berbagai kasus yang tersaji menunjukkan bahwa dengan dibukanya kesempatan berpartisipasi, masyarakat menjadi lebih perhatian terhadap permasalahan yang dihadapi di lingkungannya dan memiliki kepercayaan diri bahwa mereka dapat berkontribusi untuk ikut mengatasinya. Proses dialog stakeholders telah mendorong pemerintahan agar lebih terbuka terhadap masukan stakeholders lain dan lebih responsif terhadap tuntutan  masyarakat. Berbagai praktik partnership menunjukkan bahwa kerja sama yang baik hanya dapat berlangsung apabila komunikasi yang sehat antara pemerintah dan masyarakat terbangun (Sumarto dalam Ainur Rohman dkk, 2009: 48)
Daftar Pustaka
Ainur Rahman dkk. Politik, Partisipasi dan Demokrasi dalam Pembangunan. Malang, Averroes Press, 2009
Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta, Gramedia, 2004
Dharma Setyawan Salam. Manajemen Pemerintahan Indonesia. Jakarta, Djambatan, 2004
HAW. Widjaja. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002
Mardiasmo. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta, Andi, 2004

Green Economy

Green Economy, Kebijakan Ekonomi Baru Berbasis Lingkungan Beberapa negara di seluruh dunia masih dihantui oleh ancaman krisis global, tidak hanya itu peradaban dunia juga menghadapi persoalan serius terkait dengan degradasi sumber daya alam, energi, lingkungan, dan pangan. Bahkan, di tengah krisis sumberdaya tersebut, di beberapa negara Eropa kini tengah tengah menghadapi krisis finansial.  Sementara posisi Indonesia masih menghadapi tantangan besar di mana model pembangunan ekonomi yang dikembangkan telah menggerakkan pembangunan ekonomi yang cenderung bersifat ekstraktif dan berjangka pendek. Bahkan ada kecenderungan besar di mana upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan.  "Karena itu, maka dibutuhkan pola pendekatan baru, pendekatan Ekonomi Hijau atau Green economy, di mana model pendekatan pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan yang berlebihan," ujar Head, Office of Regional Economic Integration (OREI) Asian Development Bank (ADB), Prof Iwan Jaya Azis dalam ''open lecture on knowledge partnership'' yang diselenggarakan LPPM UGM di Balai Senat UGM.  Dalam diskusi yang dipandu oleh mantan Mendiknas Prof Dr Bambang Sudibyo MBA itu, dengan tegas Prof Iwan Jaya menjelaskan bahwa pendekatan kebijkan ekonomi hijau merupakan suatu lompatan besar untuk meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang telah mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani, termasuk di antaranya menggerakkan perekonomian yang rendah karbon (low carbon economy).  Dosen di Cornell University AS itu menambahkan, pendekatan kebijakan ekonomi hijau diharapkan mampu menggantikan kebijakan-kebijakan lingkungan yang pada masa lampau kerap difokuskan pada solusi jangka pendek. Bahkan lewat pendekatan baru kebijakan ekonomi itu menurutnya mampu bisa menekankan aspek pelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi.  "Model pendekatan green economy ini juga mampu menjawab ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat aktivitas ekonomi termasuk perubahan iklim dan pamanasan global,"
Beberapa negara di seluruh dunia masih dihantui oleh ancaman krisis global, tidak hanya itu peradaban dunia juga menghadapi persoalan serius terkait dengan degradasi sumber daya alam, energi, lingkungan, dan pangan. Bahkan, di tengah krisis sumberdaya tersebut, di beberapa negara Eropa kini tengah tengah menghadapi krisis finansial.
Sementara posisi Indonesia masih menghadapi tantangan besar di mana model pembangunan ekonomi yang dikembangkan telah menggerakkan pembangunan ekonomi yang cenderung bersifat ekstraktif dan berjangka pendek. Bahkan ada kecenderungan besar di mana upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan.
"Karena itu, maka dibutuhkan pola pendekatan baru, pendekatan Ekonomi Hijau atau Green economy, di mana model pendekatan pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan yang berlebihan," ujar Head, Office of Regional Economic Integration (OREI) Asian Development Bank (ADB), Prof Iwan Jaya Azis dalam ''open lecture on knowledge partnership'' yang diselenggarakan LPPM UGM di Balai Senat UGM.
Dalam diskusi yang dipandu oleh mantan Mendiknas Prof Dr Bambang Sudibyo MBA itu, dengan tegas Prof Iwan Jaya menjelaskan bahwa pendekatan kebijkan ekonomi hijau merupakan suatu lompatan besar untuk meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang telah mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani, termasuk di antaranya menggerakkan perekonomian yang rendah karbon (low carbon economy).
Dosen di Cornell University AS itu menambahkan, pendekatan kebijakan ekonomi hijau diharapkan mampu menggantikan kebijakan-kebijakan lingkungan yang pada masa lampau kerap difokuskan pada solusi jangka pendek. Bahkan lewat pendekatan baru kebijakan ekonomi itu menurutnya mampu bisa menekankan aspek pelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi.
"Model pendekatan green economy ini juga mampu menjawab ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat aktivitas ekonomi termasuk perubahan iklim dan pamanasan global,"

"Blue Economy Memberi Manfaat Ekonomi Lebih Optimal dan Berkelanjutan"

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap akan konsisten menata kembali pola pembangunan kelautan dan perikanan dengan mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan yang lebih menekankan pada konsep Ekonomi Biru. Konsep Blue Economy akan bertumpu pada pengembangan ekonomi rakyat secara komprehensif guna mencapai pembangunan nasional secara keseluruhan. Demikian penegasan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, seusai membuka seminar nasional yang bertemakan “Penguatan Industrialisasi dan Penerapan Konsep Blue Economy dalam Pembangunan Perikanan Tangkap yang Maju dan Berkelanjutan untuk Kesejahteraan Masyarakat”.
Menurut Sharif, konsepsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) seperti konsep blue economy saat ini telah menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Bahkan Presiden RI dalam berbagai forum internasional telah menjadi pelopor dalam mempromosikan penerapan konsep-konsep pembangunan yang berkelanjutan. Menindaklanjuti hal tersebut, KKP yang bergerak di sektor kelautan dan perikanan harus berada di garis terdepan untuk mempromosikan dan melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. “Pada dasarnya semua pihak sangat berkepentingan dengan pembangunan yang tidak mengorbankan masa depan. Apa yang kita lakukan sekarang tidak hanya untuk hari ini saja, tetapi juga harus menjadi warisan yang lebih baik bagi generasi mendatang,”jelasnya.
Sharif menegaskan, prinsip blue economy harus diimplementasikan dalam berbagai kebijakan KKP, terutama dalam program percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan. Blue economy merupakan prinsip-prinsip yang harus dipegang dan kemudian dioperasionalkan dalam industrialisasi kelautan dan perikanan. Konsep ini selain mampu menciptakan industri kelautan dan perikanan yang ramah lingkungan, juga dapat melipatgandakan pendapatan, menciptakan kesempatan kerja dan menggerakan perekonomian masyarakat sekitar. “Untuk itu, KKP akan terus mendorong para pemangku kepentingan, baik itu pemerintah daerah, dunia usaha, perguruan tinggi maupun masyarakat luas untuk terus menggali peluang penerapan blue economy dan strategi operasional dalam industrialisasi kelautan dan perikanan,”jelasnya.
Sharif menambahkan, dalam upaya menggali lebih dalam konsepsi dan peluang penerapan blue economy dalam industrialisasi kelautan dan perikanan, KKP telah mengadakan serangkaian diskusi, baik di lingkup internal maupun melibatkan para pakar dan ahli dari luar KKP. Diantaranya dengan mengundang pemrakarsa blue economy, yakni Gunter Pauli yang dikenal dengan bukunya The Blue Economy: 10 years, 100 innovations, and 100 million jobs.  Dari rangkaian diskusi yang telah dilaksanakan tersebut telah berhasil menggali berbagai informasi, prospek, dan peluang penerapan prinsip-prinsip blue economy untuk diterapkan di sektor kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. “Seminar nasional seperti ini diharapkan dapat semakin melengkapi konsepsi dan rencana kerja implementasi prinsip-prinsip blue economy dalam industrialisasi kelautan dan perikanan, khususnya pada industri perikanan tangkap,” ujarnya.

Nilai Tambah Perikanan Tangkap
Sharif menandaskan, pengembangan industrialisasi perikanan tangkap perlu disinergikan dengan penerapan blue economy. Pola ini diharapkan dapat melakukan transformasi untuk meningkatkan daya saing, produktivitas, dan nilai tambah dari sub sektor perikanan tangkap secara berkelanjutan. Apalagi saat ini produksi perikanan tangkap mencapai angka 5,5 juta ton per tahun. Tentunya bukan hanya volume produksinya saja yang meningkat, tapi nilai tambahnya dan memberi dampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat antara lain melalui penciptaan lapangan kerja.”Kami berupaya untuk mendorong agar usaha perikanan tangkap bergairah, di mana salah satunya adalah agar para pelaku usaha memanfaatkan potensi perikanan yang ada di ZEE dan laut lepas,” katanya.
Sharif menjelaskan, untuk mendukung program tersebut KKP telah mengundangkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP-NRI. Sebagaimana kita ketahui, usaha perikanan tangkap di laut lepas meliputi wilayah samudera hindia dan samudera pasifik dan dapat dilakukan dengan menggunakan kapal perikanan dengan ukuran di atas 30 GT dengan ketentuan harus didaftarkan oleh Pemerintah pada organisasi pengelolaan perikanan regional. “Dengan Permen ini diharapkan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas dapat meningkatkan hasil tangkapan yang berdampak pada meningkatnya ekspor hasil perikanan,” jelasnya.
Pemerintah, tandas Sharif akan memberikan kemudahan untuk mendukung usaha penangkapan ikan dilaut lepas. Diantaranya, ikan hasil tangkapan di laut lepas dapat langsung didaratkan di pelabuhan luar negeri, dengan ketentuan menyampaikan laporan kepada pelabuhan pangkalan di Indonesia dan menyampaikan bukti pendaratan ikan di luar negeri. Kebijakan ini dilakukan dalam rangka pendataan sumber daya dan untuk mengantisipasi kegiatan penangkapan ikan yang melebihi kuota yang telah ditetapkan organisasi internasional. “Mereka juga dapat melakukan transhipment dari kapal penangkap ikan ke kapal pengangkut ikan baik di  tengah laut maupun di pelabuhan negara lain yang menjadi anggota Regional Fisheries Management Organisation (RFMO) pada wilayah RFMO yang sama,” jelasnya.
Menurut Sharif, Permen Nomor PER.30/MEN/2012 ini, memiliki keunggulan dibanding peraturan sebelumnya. Diantaranya, mempercepat industrialisasi perikanan tangkap, dengan aturan yang membolehkan pengadaan kapal perikanan baru dan bukan baru dari dalam negeri dan luar negeri dengan ukuran yang memadai atau lebih besar. Kedua, mengoptimalkan pemanfaatan dan produksi hasil penangkapan ikan di ZEEI di luar 100 mil. Selain itu, Permen ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat perikanan, melalui aturan kewajiban usaha perikanan tangkap terpadu dan pemilik kapal kumulatif di atas 200 GT untuk mengolah ikan hasil tangkapan pada unit pengolahan ikan di dalam negeri. “Sesuai dengan konsep Blue Economy, Permen ini sangat mendukung pengelolaan sumber daya ikan yang bertanggung jawab. Terutama melalui pendataan statistik dan pelaporan hasil tangkapan yang lebih baik,” jelasnya.
Ditambahkan, Permen Nomor PER.30/MEN/2012 secara langsung akan memberikan kemudahan lain bagi para pelaku usaha. Dimana, persyaratan perizinan lebih disederhanakan dan pemeriksaan fisik kapal hanya dilakukan pada saat permohonan awal dan apabila terjadi perubahan. Selain itu, masa waktu pembayaran pungutan pengusahaan perikanan (PPP) dan pungutan hasil perikanan (PHP) lebih diperpanjang yang semula 5 (lima) hari menjadi 10 (sepuluh) hari. Kemudahan lain, pengusaha yang telah memiliki SIUP di Laut Lepas dapat digunakan juga di WPP-NRI, begitupun sebaliknya. “Pemerintah juga akan memberikan insentif bagi pelaku usaha yang melakukan pengembangan usaha pengolahan ikan maupun pelaku usaha yang melakukan pengembangan usaha penangkapan ikan,” tambahnya.

Jakarta, 13 Februari 2013

Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi
Indra Sakti, SE, MM

Sejarah Nazi™

Mungkin nama Adolf Hitler sudah pudar dari muka bumi ini. Pada tahun 1940an nama tersebut menjadi hitlist DUNIA.Adolf hitler merupakan Seorang yg sangat bertangan dingin.Banyak orang mengatakan bahwa beliau adalah ORANG PALING KEJAM DALAM SEJARAH DUNIA
Beratus ribu nyawa bahkan berjuta nyawa dibantai tanpa belas kasihan..
Utk mengetahui lebih Dlam tentang tokoh dunia tsb marilah kita simak RIWAYATNYA serta APA YG DIA LAKUKAN..



Adolf Hitler dilahirkan di Braunau am Inn, Austria, dekat Jerman pada 20 April 1889. Ayah Adolf Hitler, Alois Hitler, merupakan seorang pegawai kantor bea cukai . Setelah ayahnya pensiun, keluarga Hitler pindah ke kota Lambach (awal dari kehidupan yg terus berpindah-pindah di masa pensiun ayahnya) Ibunya merupakan keturunan yahudi.
Di Kota tersebut terdapat sebuah biara Katolik yang dihiasi ukiran kayu dan batu yang diantaranya terdapat beberapa ukiran swastika, yang kemudian menjadi tempat Adolf muda belajar.
Adolf Hitler dapat menyesuaikan dengan baik di sekolah biara tersebut, bahkan konon ia memiliki suara yang lumayan bagus. 
Sebagai Adolf muda, ia juga memiliki idola, yaitu biarawan yang melayani di sekolah biaranya, bahkan ia pernah serius selama 2 tahun bercita-cita ingin menjadi biarawan. Ketika beranjak dewasa, cita-citanya berubah ingin menjadi seorang seniman bahkan ia mencoba untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi seni di Wina, Austria namun gagal, dan bahkan ia pernah menjadi seorang tunawisma di kota ini.
Ketika Perang Dunia I meletus, Hitler turut serta pada usia 25 tahun sebagai pengantar pesan dalam pasukan Infantri Resimen Bavaria ke-16, dan ia merupakan salah satu orang yang paling beruntung di medan pertempuran.
Pernah suatu kali resimennya bertemu pasukan Inggris dan Belgia di dekat Ieper (bahasa Perancis: Ypres), resimennya kehilangan 2.500 dari 3.000 orang, tewas, luka-luka atau hilang dan Adolf Hitler lolos tanpa luka sedikitpun dan beberapa kali ia berdiri di satu tempat dan kemudian berpindah ke tempat lain yang beberapa detik kemudian tempat dia sebelumnya berdiri kejatuhan bom. Luka pertamanya didapatnya pada tanggal 7 Oktober 1916 tepat 2 tahun setelah ia terjun kedalam perang, akibat pecahan mortir di perang di Kota Somme. Ketika gencatan senjata ditanda tangani pada tanggal 11 November 1918, Hitler sedang dirawat di rumah sakit akibat terkena serangan gas klorin dari inggris yang mengakibatkan buta sementara. Ketika itu Hitler menjabat sebagai kopral.

NAZI
Hitler kemudian berkecimpung secara langsung dalam politik dan menjadi pengurus Partai Buruh Jerman (bahasa Jerman Deutsche Arbeiterpartei/DAP) pada bulan Juli 1921. Hitler menggunakan kebolehan berpidatonya untuk menjadi ketua partai. 
Dia kemudian menukar nama DAP menjadi Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP) atau partai Nazi.
Pada tahun 1929 NSDAP menjadi pemenang mayoritas dalam pemilihan umum di kota Coburg, dan kemudian memenangi pemilu daerah Thüringen. Presiden Jerman masa itu, Paul von Hindenburg akhirnya melantik Hitler sebagai Kanselir

Adolf Hitler (1889-1945) memimpin Jerman sebagai seorang diktator sejak 1933 sampai dengan 1945. Ia mengubah Negara Jerman menjadi sebuah mesin perang yang tangguh dan menyebabkan meletusnya Perang Dunia ke II pada tahun 1939. Pasukan Hitler sudah menguasai hamper seluruh daratan Eropa sebelum mereka dikalahkan pada tahun 1945.

Paham FASISME yang dianut Hitler
Fasisme merupakan sebuah paham politik yang mengangungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara.
Kata fasisme diambil dari bahasa Italia, fascio, sendirinya dari bahasa Latin, fascis, yang berarti seikat tangkai-tangkai kayu. Ikatan kayu ini lalu tengahnya ada kapaknya dan pada zaman Kekaisaran Romawi dibawa di depan pejabat tinggi. Fascis ini merupakan simbol daripada kekuasaan pejabat pemerintah.
Pada abad ke-20, fasisme muncul di Italia dalam bentuk Benito Mussolini. Sementara itu di Jerman, juga muncul sebuah paham yang masih bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme dan rasisme yang sangat sangat kuat. Saking kuatnya nasionalisme sampai mereka membantai bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih rendah.








Foto Adolf Hitler ketika muda


Eva Braun lahir di Munchen, Jerman dan berjumpa dengan Adolf Hitler pada tahun 1930 pada usia 17. 
Kala itu ia adalah asisten seorang juru foto Hitler. Pada 1936 ia menjadi pacar Hitler. Pada 29 April 1945, ketika Tentara Merah Uni Soviet sudah berada di kota Berlin, ia menikah dengan Hitler. Sehari kemudian mereka bunuh diri dan jasad mereka dibakar.(Seorang Adolf Hitler juga memiliki kisah cinta yang tragis)


Sedan Mercedes-Benz 770K adalah mobil tunggangan pemimpin Nazi, Adolf Hitler. Sedan cabriolet keluaran 1930–1937 inilah yang kerap mengantar Hitler saat ia menggelar parade.
Pada 6 Januari 1973, sedan mewah elite pada masanya itu dilego sebesar US$ 153 ribu atau Rp 1.3 miliar saat acara lelang mobil-mobil kuno. Dan merupakan sedan bersejarah yang dilelang dengan harga termahal saat itu.

FOTO2 KEGANASAN NAZI DIBAWAH ADOLF HITLER
















Hitler menyatakan bahwa wilayah Jerman saat itu tidak cukup lagi bagi bangsa Jerman dan bahwa ras Aria tengah terhimpit di wilayah ini. Dia kemudian berpendapat bahwa mereka harus menduduki negara-negara Eropa Timur dan menjadikan tempat tersebut Lebensraum, atau "ruang hidup," bagi rakyat Jerman. Puluhan juta orang yang sudah menghuni tempat ini menghadapi pembantaian kejam.Tentara Nazi melakukan pembantaian besar-besaran di setiap wilayah yang mereka duduki di Eropa Timur. Terutama sekali, mereka melakukan tindakan tanpa kenal ampun terhadap bangsa Yahudi, Gipsi, Polandia, dan Slavia, kelompok yang mereka anggap lebih rendah daripada mereka. Satuan SS Nazi khusus yang dibentuk terutama untuk mengadakan pembantaian ini mulai membunuh semua kelompok sasaran mereka, terutama bangsa Yahudi. Semua wilayah yang sudah diduduki dipenuhi jenazah yang tewas dan orang-orang selamat yang meratapi mereka. Para pendeta dan tempat-tempat ibadat merupakan sasaran yang paling disukai oleh Nazi. Mereka membakar dan menghancurkan semua gereja dan membunuh para agamawan.
Kekejaman Nazi benar-benar tampak di pusat-pusat tawanan mereka. Bangsa Yahudi, Gipsi, tahanan perang, dan pendeta Katolik dipaksa bekerja keras layaknya budak. Barak tawanan ini tak ubahnya rumah pejagalan manusia. Berjuta-juta lelaki, perempuan, dan anak-anak yang tak bersalah dibantai secara kejam dengan cara yang dirancang untuk membunuh manusia secara massal. Saat barak tersebut dibebaskan, Sekutu disambut oleh puluhan ribu mayat yang diletakkan berdampingan dengan tahanan yang menunggu di pintu kematian. Di dalam barak tawanan Nazi, sejumlah 11 juta orang tidak bersalah kehilangan nyawa mereka.

Sungguh seorang tokoh yg sangat berpengaruh besar..!!!