Senin, 08 April 2013

PEMERINTAHAN DAERAH DILIHAT DARI BEBERAPA ASPEK

PEMERINTAHAN DAERAH DILIHAT DARI BEBERAPA ASPEK: KEUANGAN, BIROKRASI, ETIKA  DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN
Oleh; ???
Abstrak

Salah satu unsur reformasi adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan pemerintah daerah dalam mengembangkan otonomi tersebut. Pertama, pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Kedua, pemerintah daerah perlu mengembangkan birokrasi  yang sehat dan memiliki wawasan dan jiwa wirausaha. Ketiga, prinsip kepatutan dalam pemerintahan yang  tidak terlepas dari kewajiban etika dan moral serta budaya baik antara pemerintah dengan rakyat, antara lembaga/pejabat pemerintahan dengan pihak ketiga. Keempat, partisipasi masyarakat dalam pembangunan sehingga pemerintah daerah mendapat  petunjuk mengenai kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Keywords:  Pemerintahan daerah, keuangan dan anggaran daerah, birokrasi, etika dan partisipasi masyarakat.


A. Tuntutan Otonomi Daerah
Krisis ekonomi dan kepercayaan telah membuka jalan untuk melakukan reformasi total di seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia. Tema sentralnya adalah mewujudkan masyarakat madani, terciptanya good governance, dan mengembangkan model pembangunan yang berkeadilan. Di samping itu, reformasi ini telah juga memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses pengembangan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaruan paradigma di berbagai bidang kehidupan.
Salah satu unsur reformasi adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Tuntutan ini dinilai wajar, paling tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di Indonesia. Arahan dan statutory requirement yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan, bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Besarnya arahan dari pemerintah pusat itu didasarkan pada dua alasan utama, yaitu untuk menjamin stabilitas nasional, dan karena kondisi sumber daya daerah yang dirasa masih relatif lemah. Karena dua alasan ini, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya pandangan ini terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya, Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi seperti itu telah memunculkan masalah rendahnya akuntabilitas, memperlambat pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik serta memperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah.
Kedua, tuntutan pemberian otonomi ini juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa yang akan datang. Di era seperti ini, globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan  internasional, informasi dan ide serta transaksi keuangan. Di masa depan, pemerintah sudah terlalu besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Untuk menghadapi krisis ekonomi dan kepercayaan serta era new game yang penuh dengan new rules tersebut, dibutuhkan new strategy. Strategi itu adalah penyelenggaraan otonomi daerah. Misi utamanya adalah desentralisasi. Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreatifitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan atau kebijakan publik ke tingkat pemerintah yang lebih paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap. (Mardiasmo, 2004: 3-6)
Pengembangan otonomi pada daerah kabupaten dan kota diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian dan pemanfaatan dan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan dan perkembangan otonomi daerah pada era globalisasi adalah:
  1. Adanya transformasi kehidupan, seperti dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.
  2. Ekonomi nasional menjadi ekonomi dunia. Dinamika ekonomi nasional sangat erat terkait dengan gerak ekonomi negara lain. 
  3. Lembaga bantuan menjadi lembaga penolong dirinya sendiri
  4. Demokrasi perwakilan menjadi demokrasi partisipasi.
  5. Susunan hirarki organisasi menjadi jaringan kerja
            Kecenderungan tersebut telah menggejala pada masyarakat Indonesia, seperti pengaruh negatif dari masyarakat informatif yaitu meluasnya sikap konsumerisme dan tersingkirnya nilai budaya lokal. Menurunnya nilai rupiah terhadap nilai uang negara lain (khususnya dolar AS) yang menyebabkan kegiatan ekonomi masyarakat menjadi terpengaruh.
            Selain itu, kelembagaan-kelembagaan pun terpengaruh. Kelembagaan pemerintahan dan kelembagaan kepentingan masyarakat yang lain tidak lagi sepenuhnya dapat melayani kebutuhan masyarakat, tetapi menjadi lembaga yang menyebabkan individunya menolong diri sendiri. Lembaga hanya berfungsi sebagai fasilitator. Individunya yang lebih aktif. Tuntutan partisipasi masyarakat terhadap kebijakan publik semakin kuat sehingga apabila tidak diikutsertakan sering menimbulkan konflik.
            Keterkaitan individu selain sebagai warga negara yang melekat hak asasi manusia kepadanya, terkait juga dengan masyarakat di negara-negara lain akan melahirkan masyarakat internasional. Akibatnya terjadi individualisasi, internasionalisasi, sosialisasi dan humanisasi. Timbul budaya global dan kesadaran global sehingga terjadi hubungan sistematik, kontraksi, sifat reflektif (tumbuh kesadaran dan kemanusiaan) terhadap sekat pembatas ruang dan waktu, sehingga timbul serba muka antara resiko dan kenyataan. ( Dharma Setyawan Salam, 2004: 207-208)
            Sebagai manajer pemerintahan, pemerintahan daerah kabupaten dan kota mempunyai peranan yang besar dalam mentransformasikan perubahan yang menggambarkan perpaduan antara kenyataan yang ada dalam masyarakat dengan kebijaksanaan politik yang dikeluarkan pemerintah.
            Manajemen pemerintahan daerah dapat digerakkan dengan menempatkan budaya paternalistik pemimpin dengan memiliki:
  1. Wawasan global (global mind set)
  2. Peka terhadap perubahan yang cepat dan sistematik
  3. Kemampuan manajemen konflik
  4. Lebih menghargai proses organisasi daripada struktur hirarki formal
  5. Toleransi terhadap multikultural dan keragaman, luwes dan peka, tetapi memiliki identitas pribadi yang kuat
  6. Kemampuan memanfaatkan perubahan sosial budaya
  7. Terus menerus mempertajam keabsahan paradigma dalam berbagai kondisi sosial budaya (sui generis)
  8. Kemampuan menyusun skala prioritas secara terpadu yang berbentuk jaringan (Dharma Setyawan Salam, 2004: 212-213)

B.   Pengelolaan Keuangan dan Anggaran Daerah
Salah satu aspek pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran daerah atau anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otoritasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktifitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktifitas atau program yang menjadi prioritas dan prefernsi daerah yang bersangkutan.
Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut:
  1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah.
  2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
  3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan  perangkat daerah lainnya.
  4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas.
  5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH dan PNS-daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya.
  6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan.
  7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.
  8. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, dan akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
  9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah.
10.  Pengembangan sistem informasi keuangan untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian serta mempermudah mendapat informasi (Mardiasmo, 2004: 9-10)
Adapun dimensi keuangan daerah yang perlu diperhatikan adalah:
1) Kewenangan daerah dalam pemanfaatan dana perimbangan keuangan
2) Prinsip pengelolaan anggaran
3) Prinsip penggunaan pinjaman dan deficit spending.
4) Strategi pembiayaan (Mardiasmo, 2004: 26)
            Dalam rangka otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberi keleluasaan (diskresi) untuk mengelola dan memanfaatkan sumber penerimaan daerah yang dimilikinya sesuai dengan aspirasi masyarakat daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerah tersebut agar tidak mengalami defisit fiskal.
            Prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah tersebut meliputi:
1) Akuntabilitas
            Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berprilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal secara baik.
2) Value for Money
Dalam konteks otonomi daerah, value for money merupakan jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai good governance. Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik (public money) yang mendasarkan konsep value for money, maka diperlukan Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah dan Anggaran Daerah yang baik. Hal tersebut dapat tercapai apabila pemerintah daerah memiliki sistem akuntasi yang baik.
3) Kejujuran dalam Pengelolaan Keuangan Publik (Probity)
            Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan
4) Transparansi
            Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat setempat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
5) Pengendalian
            Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus sering dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu diperlukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan (Mardiasmo, 2004: 29-30).
C.   Birokrasi
Era new game juga mengharuskan pemerintah daerah untuk mempersiapkan diri secara institusional. Salah satunya adalah dengan mengembangkan lembaganya sebagai lembaga yang memiliki birokrasi yang sehat dan memiliki wawasan dan jiwa wirausaha. Kesan umum terhadap kinerja birokrasi oleh masyarakat senantiasa dikaitkan dengan segala sesuatu yang serba lambarn, lamban dan berbelit-belit serta formalitas. Dalam penyelesaian urusan kinerja birokrasi selalu mendapatkan hambatan yang memakan waktu, sehingga selalu tertunda penyelesaiannya. Sebenarnya, dengan birokrasi tugas-tugas yang diberikan adalah lebih teratur dan lebih tertib sehingga tidak diharapkan akan terjadi hambatan atau penundaan.
Arus otonomi semakin membuka pandangan baru bagi kinerja birokrasi, dalam rangka mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikan kesan awal mulai berubah dengan kinerja setelah memahami birokrasi yang dirasakan mempunyai fungsi yang positif. Perubahan kinerja ini menjadi suatu kenyataan yang bersifat imperatif.
Masyarakat yang dinamis telah berkembang dalam berbagai kegiatan yang semakin membutuhkan tenaga-tenaga yang profesional. Seiring dengan dinamika masyarakatdan perkembangannya, kebutuhan akan pelayanan semakin komplek serata pelayanan yang semakin baik, cepat dan tepat, termasuk kinerja birokrasi yang semakin baik pula dalam pelaksanaan otonomi daerah.
 Birokrasi yang berada di tengah-tengah masyarakat dinamis tersebut tidak dapat tinggal diam, tetapi harus mampu memberikan berbagai kebutuhan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini perlu mendapat perhatian birokrasi dalam mengantisipasi akan kebutuhan pelayanan tersebut:
  1. Sifat pendekatan tugas, lebih mengarah kepada pengayoman dan pelayanan masyarakat, bukan pendekatan kekuasaan dan kewenangan.
  2. Penyempurnaan organisasi, efisien, efektif dan profesional.
  3. Sistem dan prosedur kerja cepat, tepat dan akurat.
Birokrasi  modern tidak lagi berfikir bagaimana membelanjakan dana yang tersedia dalam anggaran, tetapi bagaimana membelanjakan anggaran yang terbatas seefisien mungkin, dan memanfaatkan apa yang diperoleh dari hasilnya.
Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan efesiensi dan profesionalisme birokrasi. Hal ini sangat penting dilakukan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan lingkungan yang akan terjadi. Pemerintah daerah perlu memperbaiki mekanisme rekruitmen pegawai negeri, memperbaiki reward and punishment system, meningkatkan gaji dan kesejehteraan pegawai serta mengubah kultur organisasi (Mardiasmo, 2004: 16).
Iklim yang kompetitif memaksa suatu masyarakat atau bangsa untuk mengembangkan kemampuannya untuk bisa ikut serta dalam persaingan yang ketat. Upaya pengembangan diri ini di satu sisi ditentukan oleh kemauan politik melalui pengambilan kebijaksanaan secara tepat. Di sisi lain, pelaksanaannya dipengaruhi oleh kehidupan sosial budaya masyarakat yang bersangkutan.
            Dengan demikian, meskipun pemerintahan nasional masih memegang peranan kekuasaaan manajerial pemerintahan negara yang besar, namun keefektifan dan keefisienan manajemen pemerintahan secara nasional sangat dipengaruhi oleh kemampuan manajemen pemerintahan tingkat bawahnya yaitu propinsi, terutama kabupaten dan kota. Hal ini dikarenakan pemerintahan kabupaten dan kota yang secara langsung mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam ikatan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Politik pembangunan nasional yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi pada masa orde baru belum sepenuhnya menguntungkan rakyat Indonesia. Politik pembangunan orde baru telah menciptakan pola hubungan negara-masyarakat (Zero Sum). Kekuatan negara yang sangat besar berhadapan dengan kekuatan masyarakat sipil yang sangat lemah. Pola tersebut telah menimbulkan dampak negatif yang sangat menghambat perkembangan demokrasi. Terjadinya hal tersebut dikarenakan birokrasi yang sangat represif, otoritarian, sentralistik, korup dan manipulatif.
            Pada hakikatnya dasar pemikiran otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang dari manajemen pemerintahan tingkat atas kepada manajemen pemerintahan tingkat bawah. Tujuannya adalah untuk mencapai penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang efektif dan efisien. Hal ini merupakan hasil  dari pelaksanaan otonomi daerah selama 25 tahun melalui Undang-Undang no 5 tahun 1974 yang menunjukkan bahwa upaya penyelenggaraan manajemen pemerintahan belum dapat  mencapai hasil yang efektif dan efisien dalam kerangka UUD 1945. ( Dharma Setyawan Salam, 2004: 205-206)
Undang-undang No 32 tahun 2004 mengisyaratkan adanya prinsip pemberian otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen pemerintahan daerah dan pelayanan masyarakat sebagai daerah otonom. Daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban masyarakat.
Hal ini berarti undang-undang tersebut menunjuk kepada manajemen pemerintahan yang bertumpu pada nilai demokrasi, pemberdayaan, dan pelayanan. Bentuknya adalah keleluasaan dalam mengambil keputusan yang terbaik dalam batas-batas kewenangannya agar seluruh kompetensi yang dimiliki selalu berkembang dalam mendukung kualitas pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat.
Pemerintah daerah diharapkan lebih siap dalam menyongsong setiap perubahan yang akan terjadi. Nilai demokrasi memberi ruang yang lebih luas kepada masyarakat (warga negara) dalam menentukan pilihan dan mengeksperesikan diri secara rasional. Dominasi kekuatan negara dalam menentukan pilihan publik sudah semakin berkurang. Aparatur pemerintah tidak harus selalu melaksanakan sendiri pekerjaannya, tetapi justru lebih banyak bersifat mengarahkan atau memilih kombinasi yang paling optimal antara melaksanakan atau mengarahkan. Hal yang sudah bisa dilaksanakan oleh masyarakat hendaknya tetap diserahkan kepada masyarakat, pemerintah cukup melakukan upaya pemberdayaan atau meningkatkan kemampuannya.
Gaya menajemen pemerintahan wirausaha dapat diterapkan untuk mencapai pemerintahan daerah yang efektif dengan bercirikan:
  1. Pemerintahan daerah lebih memutuskan perhatian kepada upaya pengaturan dan pengendalian daripada sebagai pelaksanaan langsung pekerja publik
  2. Pemerintah daerah mendorong kompetensi antar pemberi jasa .
  3. Adanya pengawasan dari masyarakat atas birokrasi
  4. Mengukur kinerja dengan memusatkan kepada hasil, bukan masukan
  5. Manajemen digerakkan oleh tujuan (misi) bukan oleh ketentuan dan peraturan.
  6. Meninjau kembali status masyarakat sebagai obyek pembangunan dengan menawarkan kepada mereka banyak pilihan baik secara kuantitas maupun kualitas
  7. Berusaha mencegah masalah sebelum muncul
  8. Berusaha untuk memperoleh uang, tidak hanya membelanjakannya
  9. Melaksanakan manajemen partisipatif dalam birokrasi
10.  Lebih menyukai mekanisme pasar daripada mekanisme birokrasi. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 213-216)
Pendapat yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh sejumlah ilmuwan di bidang manajemen dan administrasi publik seperti Osborne dan Gaebler (1992) dengan konsepnya “reinventing government” yang sangat monumental.
            Keberhasilan manajemen pemerintahan daerah dalam menyongsong otonomi daerah sangat tergantung kepada kemampuannya untuk memanfaatkan kebijakan otonomi daerah sebagai daya penambah kekuatan untuk mengatur dan menggerakkan segenap sumber daya organisasi yang ada, baik stuktur organisasi maupun arah dan gaya kebijakan.
            Transformasi sosial-budaya dapat menciptakan iklim manajemen pemerintahan daerah yang efektif dan luwes dan proaktif terhadap dinamika perubahan dalam masyarakat (lokal, nasional, regional dan internasional) bekerjasama dengan pemerintah nasional dan pemerintah propinsi, termasuk pemerintah daerah kabupaten dan kota di dalamnya, serta organisasi lain yang berhubungan dengan pembangunan daerah baik secara langsung maupun tidak langsung.
            Pelayanan umum (publik) perlu alokasi yang lebih adil selaras dengan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Hal ini menunjuk kepada perlunya manajemen pemerintah daerah kabupaten yang lebih efektif mengandung misi pelayanan yang prima dan aspiratif yang menjamin kebebasan, keterbukaan dan pendelegasian wewenang yang proporsional. Aparatur pemerintah yang memiliki insight, imajinasi dan inovasi tinggi sangat diperlukan agar pemerintah daerah mampu berbuat yang semula dianggap tidak mungkin menjadi mungkin.
D.   Etika Politik dan Pemerintahan
            Dari segi etika, pemerintahan adalah perbuatan atau kegiatan yang erat kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan. Karena itu perbuatan pemerintahan tidak terlepas dari kewajiban etika dan moral serta budaya baik antara pemerintah dengan rakyat, antara lembaga/pejabat pemerintahan dengan pihak ketiga. Perbuatan semacam ini biasanya disebut prinsip kepatutan dalam pemerintahan dengan pendekatan moral sebagai dasar berpikir dan bertindak. Prinsip kepatutan ini menjadi landasan etis bagi pejabat dan lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas kepemerintahan.
            Etika pemerintahan tersebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara dalam selaku manusia sosial. Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika kepemerintahan adalah:
1)      Penghormatan terhadap hidup manusia dan hak asasi manusia lainnya.
2)      Kejujuran (honesty) baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya.
3)      Keadilan (justice) dan kepantasan, merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.
4)      Fortitude, yaitu kekuatan moral, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan dan nasib.
5)      Temperance, yaitu kesederhanaan dan pengendalian diri
6)      Nilai-nilai adama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar umat manusia harus bertindak secara profesional dan bekerja keras.
Karena pemerintahan itu sendiri menyangkut pencapaian tujuan negara (dimensi politis), maka dalam perkembangannya etika pemerintahan tersebut berkaitan dengan etika politik. Etika politik subjeknya adalah negara, sedangkan etika pemerintahan subjeknya adalah pejabat dan para pegawai.
Etika politik berhubungan dengan dimensi politik kehidupan manusia, yaitu berhubungan dengan pelaksanaan sistem politik seperti tatanan politik, legitimasi dan kehidupan berpolitik. Bentuk nilai keutamaannya seperti demokrasi, martabat manusia, kesejahteraan warga negara, dan kebebasan berpendapat.
Etika politik juga mengharuskan sistem politik menjunjung nilai-nilai keutamaan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis maupun normatif. Misalnya legitimasi politik harus dapat dipertanggungjawabkan demikian juga tatanan kehidupan politik dalam suatu negara.
Etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan-keutamaan yang harus dilaksanakan oleh para pejabat dan pegawai pemerintahan. Karena itu dalam etika pemerintahan membahas perilaku penyelenggara pemerintahan, terutama penggunaan kekuasaan, wewenang termasuk legitimasi kekuasaan dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik atau buruk. Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam undang-undang dasar baik yang dikatakan oleh dasar negara maupun dasar-dasar perjuangan negara, serta etika pegawai pemerintahan. Wujudnya di Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasr 1945 sekaligus Pancasila sebagai dasar negara, serta doktrin dan etika Pegawai Negeri Sipil.
Doktrin Pegawai Negeri Sipil dinamakan “Bhinneka Karya Abdi Negara” yaitu walaupun anggota-anggota KORPRI melaksanakan tugas di berbagai bidang dan jenis karya yang beraneka ragam, tetapi adalah dalam rangka pelaksanaan pengabdian kepada bangsa, negara dan masyarakat Indonesia. Etika Pegawai Negeri Sipil disebut dengan “Panca Prasetya KORPRI”, yaitu anggota KORPRI beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah insan yang:
1)      Setia dan taat kepada negara kesatuan dan pemerintah Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2)      Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara.
3)      Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan.
4)      Bertekad memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan KORPRI
5)      Berjuang menegakkan kejujuran dan keadilan, serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 64-65)
Widjaja (Dharma Setyawan Salam, 2004: 67) mengatakan bahwa etika berupa ajaran untuk mencapai tujuan dalam mewujudkan pemerintahan yang stabil dan berwibawa menghendaki kondisi yang baik dari pelaksana-pelaksananya. Dalam rangka menegakkan suatu pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, maka etika pemerintahan juga harus memperhatikan perkembangan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai hubungan yang sinergis antara negara, swasta dan masyarakat.
Sejarah pemerintahan di Indonesia membuktikan bahwa etika pegawai negeri yang tercantum dalam Panca Prasetya KORPRI maupun yang diatur secara tersirat dalam peraturan perundang-undangan yang ada belum mampu menjadi pedoman perilaku bagi pejabat dan Pegawai Negeri Sipil di Indonesia. Misalnya, praktik-praktik penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi dan nepotisme tetap marak dalam setiap babakan sejarah pemerintahan di Indonesia.
Karena itu etika pemerintahan harus diimplementasikan secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan (baik undang-undang maupun peraturan daerah). Pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini didasarkan pada hakikat pemerintahan berdasarkan pandangan etika pemerintahan adalah penerapan suatu kewenangan yang berdaulat secara berkelanjutan berupa penataan, pengaturan, penertiban, pengamanan dan perlindungan terhadap sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu baik secara arbiter maupun berdasar pada peraturan perundang-undangan.
Di samping itu, pembuatan undang-undang etika pemerintahan ini merupakan salah satu upaya untuk mencapai tujuan etika kepemerintahan, yaitu:
1)      Menciptakan pemerintahan yang adil, bersih dan berwibawa.
2)      Menempatkan segala perkara pada tempatnya sesuai dengan kodrat, harkat, martabat manusia serta sesuai dengan fungsi, peran dan misi pemerintahan.
3)      Terciptanya masyarakat demokratis.
4)      Terciptanya ketertiban, kedamaian, kesejahteraan dan kepedulian.
Dapat disimpulkan bahwa pemerintahan pada dasarnya merupakan upaya menjalankan kekuasaan untuk mencapai tujuan tertentu. Namun demikian, dalam menjalankan pemerintahan itu, penguasa (termasuk aparatur pemerintahan daerah) harus bersikap adil, jujur, menjunjung tinggi hukum dan memanusiakan manusia. Karena itu dalam etika pemerintahan, memerintah berarti menerapkan kekuasaa secara adil (baik secara hukum alam maupun hukum positif) dan memanusiakan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya.
Implikasinya dalam menerapkan kekuasaan tidak berdasarkan kekuasan fisik tetapi berdasr asas kesamaan/kesetaraan, kebebasan, kepedulian/solidaritas, dan menjunjung tinggi hukum. Dengan penerapan asas ini maka diharapkan penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan dapat dihindari.
Sebaliknya, penyelenggaraan pemerintahan (pemerintahan daerah) juga memerlukan kekuasaan dalam bentuk wewenang dan otoritas. Dengan kekuasaan ini, pemerintah (pemerintah daerah) memiliki hak untuk menuntut ketaatan dan memberi perintah kepada orang-orang yang diatur atau diperintahnya. Namun demikian, kekuasaan, wewenang, otoritas serta hak-hak yang melekat itu harus memiliki legitimasi (keabsahan) berdasarkan norma tertentu. Di samping itu, sudah menjadi kewajiban moral bagi aparatur pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan segala sikap dan perilakunya.
            Syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh aparatur pemerintahan daerah dalam setiap perbuatan hukumnya agar dapat diterima oleh masyarakat adalah sebagai berikut:
1)      Efektifitas. Kegiatan harus mengenai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan atau direncanakan.
2)      Legitimasi. Kegiatan pemerintah daerah harus dapat diterima masyarakat dan lingkungannya.
3)      Perbuatan para aparatur pemerintahan tidak boleh melanggar hukum.
4)      Legalitas. Semua perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan hukum yang jelas.
5)      Moralitas. Moral dan etika umum maupun kedinasan wajib dijunjung tinggi.
6)      Efisiensi. Kehematan biaya dan produiktivitas wajib diusahan setinggi-tingginya.
7)      Teknik dan teknologi yang setinggi-tingginya wajib dipakai untuk mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-baiknya. (Dharma Setyawan Salam, 2004: 88-89)
E.   Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Orientasi pembangunan pada pemerintahan sentralistik dan desentralistik berbeda dalam konteks untuk apa suatu pembangunan atau kebijakan dirumuskan. Pada pemerintahan sentralistik pembangunan seringkali justru digunakan untuk kepentingan pemerintah itu sendiri dan sedikit yang diberikan kemanfaatannya kepada masyarakat. Pada pemerintahan desentralistik pembangunan atau kebijakan idealnya dirumuskan justru untuk memenuhi kebutuhan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Kelemahan pada pemerintahan desentralistik, seringkali kebijakan berjalan lambat karena harus memenuhi aspirasi dari berbagai kompenen dan lapisan masyarakat, sedangkan pada pemerintahan sentralisitik, suatu kebijakan bisa dijalankan dengan cepat. Namun demikian, secara ideal hasil yang diharapkan dari dua pola perumusan dan pelaksanaan kebijakan di atas, pada pemerintahan yang menganut desentralisasi lebih memenuhi aspirasi publik secara demokratis dibandingkan pendekatan pertama.
Untuk melaksanakan pembangunan daerah secara tepat, efektif dan efisien, dibutuhkan kredibilitas sumber daya manusia masyarakat itu sendiri, dan kualitas aparatur pemerintahan. Di sini dibutuhkan adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah daerah yang mampu merespon persoalan masyarakat setempat. Pembangunan daerah merupakan tugas yang terbebankan kepada seluruh masyarakat di daerah. Pembangunan daerah tidak hanya dimonopoli oleh pemerintah kabupaten dan kota saja, melainkan juga tugas dari masyarakat untuk mengarahkan, menentukan dan mengontrol proses pelaksanaan pembangunan daerah itu sendiri.
Bowman dan Hampton (dalam Ainur Rohman dkk, 2009: 51) menyatakan bahwa tidak ada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang sangat luas dapat menentukan kebijakan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijakan dan progam-programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi. Karena itu, urgensi pelimpahan kebutuhan atau penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat, baik dalam konteks politis maupun secara administratif, kepada organisasi atau unit di luar pemerintah pusat menjadi hal yang sangat penting untuk menggerakkan dinamika sebuah pemerintahan. Sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi pada akhirnya menjadi pilihan akibat ketidakmungkinan sebuah negara yang wilayahnya luas dan penduduknya banyak untuk mengelola manajemen pemerintah secara sentralistis.
Desentralisasi dalam hal ini juga diminati karena di dalamnya terkandung semangat demokrasi untuk mendekatkan partisipasi masyarakat dalam menjalankan sebuah pembangunan. Pada perkembangannya lebih jauh, desentralisasi lalu menjadi semangat utama bagi negara-negara yang menyepakati demokrasi sebagai landasan gerak utamanya. Kesamaan orientasi desentralisasi dan demokratisasi inilah yang membuat sebuah pemerintahan di masa kini tidak bisa lagi memerintah secara sentralistiks. Terdapat kesadaran baru di kalangan para penyelenggara pemerintahan bahwa masyarakat merupakan pilar utama yang harus dilibatkan dalam berbagai proyek pembangunan.
Isu demokrasi yang semakin menguat terutama di negara-negara berkembang, yang oleh Hungtington diistilahkan sebagai kekuatan gelombang ketiga (third wave) merupakan angin segar bagi semangat mengembangkan desentralisasi secara teoritik. Demokrasi yang mempersyaratkan tumbuhnya masyarakat sipil ditopang dengan sistem pemerintahan desentralistik yang juga mempersyaratkan partisipasi masyrakat secara penuh. Masyarakat sipil dan partisipasinya dalam pembangunan suatu negara merupakan bagian tak terpisahkan.
Abdul Wahab (Ainur Rohman dkk, 2009: 52) menyatakan bahwa wacana desentralisasi dalam kepustakaan politik dan pemerintahan lokal sebenarnya berangkat dari tradisi pemikiran politik yang poliarkis. Pemikiran politik poliarkis adalah sebuah pemikiran yang memberikan apresiasi tinggi terhadap adanya ruang kebebasan bagi masyarakat. Pemikiran ini juga membiasakan diri dengan pemikiran-pemikiran alternatif untuk memecahkan kebutuhan dari suatu masalah, terutama ditujukan untuk hadirnya unit-unit politik independen di luar cakupan negara. Isu demokratisasi di negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga pada era 1980an turut memberikan andil bagi semakin majunya studi-studi baru tentang desentralisasi. Secara konseptual, perspektif politik desentralisasi (political decentralization perspective) seperti pada fokus studi dari Mawhood, Goldberg, Kingsley, Sherwood, Rondinelli dan banyak pakar lainnya merupakan sumbangan atas perkembangan pemerintahan modern yang bersifat devolutif. Secara prinsip dikemukakan bahwa desentralisasi adalah devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (the devolution of power from central to local government).
Di Indonesia, keberadaan UU No 5 Tahun  1974 tentang Pemerintahan Daerah dianggap sebagai sumber sentralisasi kebijakan pembangunan. Dengan datangnya reformasi pemerintahan dan melahirkan UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, dan direvisi dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah lebih membuka peluang partisipasi publik direalisasikan dalam rangka merumuskan kebijakan pembangunan. Walaupun demikian, masih membuka sejumlah pertanyaan, di antaranya sejauh mana keberadaan undang-undang yang demokratis tersebut melahirkan kebijakan pembangunan yang demokratis dan benar-benar menghasilkan suatu produk pembangunan yang diharapkan oleh publik.
Banyak kasus perumusan kebijakan yang belum benar-benar mengadopsi kaidah demokrasi secara substansial. Demokrasi dan partisipasi publik yang diterapkan masih sebatas isu formal dan begitu pula dalam pelaksanaan di lapangan. Di berbagai daerah masih terdapat tarik-menarik baik antara kepentingan pusat dan daerah, maupun kepentingan pemerintah dan warga, dari tarik-menarik tersebut, fakta umumnya kepentingan publik seringkali terabaikan.
Partisipasi publik dalam perumusan dan pelaksanaan APBD pada pemerintahan, misalnya, memiliki fungsi penting dalam rangka mengurangi bahkan mengantisipasi aparatur yang bermaksud melakukan penyelewengan terhadap penyaluran dan penggunaan APBD sebagaimana yang terjadi selama ini. Beberapa contoh kasus menunjukkan partisipasi publik masih lemah dalam rangka ikut serta merumuskan kebijakan pembangunan daerah yang tercermin dalam proses perumusan APBD-nya.
Penelitian yang dilakukan oleh Solidaritas Gerakan Anti Korupsi (SoRAK) Aceh, Lakaspia Institute, CAJP serta didukung oleh Partnership di enam kabupaten/kota di Aceh, yakni Kota Banda Aceh, Kota Lhoksemawe, Bireun, Aceh Tengah, Aceh Barat dan Aceh Utara, menunjukkan bahwa Anggran Belanja dan Pendapatan Kabupaten/Kota (APBK) 2007 dinilai sangat mengecewakan. Partisipasi publik masih sangat rendah. Dari enam kabupaten/kota yang diteliti diperoleh gambaran bahwa 74 % masyarakat menyatakan tidak pernah secara aktif ikut serta dalam pembangunan melalui mekanisme musyawarah kerja pembangunan (musrenbang). Selain itu, 68 % masyarakat tidak tahu persis visi dan misi kepala daerah yang baru, serta 92 % lainnya tidak pernah membaca dokumen perencanaan pembangunan pemerintah daerah (Ainur Rohman dkk, 2009: 53).
Demikian pula di beberapa daerah lainnya dapat disimpulkan bahwa partisipasi publik dalam proses pembangunan daerah belum berjalan secara maksimal. Di antara berbagai contoh tersebut, yang sering muncul adalah partisipasi dalam pengertian kualitas dan kuantitas. Adakalanya partisipasi publik bisa dinilai tinggi dalam konteks kuantitas atau keterlibatan secara fisik namun belum membuahkan hasil yang maksimal dalam konteks kualitas. Misalnya, perumusan kebijakan APBD masih sering sebatas mementingkan “keinginan” daripada “kebutuhan” yang sesungguhnya. Masyarakat belum mampu mengidentifikasi dan merumuskan kebutuhannya sendiri secara ideal, sehingga apa yang dinyatakan oleh elit pemerintahan dianggapnya sebagai suatu kebenaran.
Dalam konteks kesejahteraan, keberhasilan sejumlah pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya memang belum maksimal ditinjau dari pencapaian angka human development index (indeks pembangunan manusia- IPM) sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. Saat ini IPM daerah-daerah baru mencapai angka 60 hingga 69. Adapun angka IPM ideal menurut World Bank adalah 80 (Ainur Rohman dkk, 2009: 54)
Dalam pengamatan sementara ini, dapat disimpulkan proses yang terjadi dalam partisipasi pembangunan di daerah secara formal sudah dilaksanakan, namun belum menghasilkan arah kebijakan yang berarti  dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah yang terdapat dalam masyarakat. Ironisnya terdapat suatu tradisi umumnya program pembangunan yang seringkali hanya merupakan pengulangan-pengulangan masa lalu. Program pembangunan yang direncanakan belum didahului dengan studi dan analisis yang mendalam tentang mengapa, bagaimana, dengan cara dan untuk apa suatu kebijakan diterapkan.
Di sisi lain, aspek kepentingan politik segolongan masyarakat dan pertentangannya dengan lainnya seringkali mengabaikan kepentingan umum dari tujuan pembangunan itu sendiri. Hal tersebut di lapangan pada akhirnya mengakibatkan masyarakat menjadi korban tarik-menarik secara politis dalam proses perencanaan pembangunan itu sendiri. (Ainur Rohman dkk, 2009: 55)
            Masyarakat ikut berpartisipasi dalam pembangunan, sebab dalam diri mereka ada keinginan dan kegairahan untuk merubah masa depannya agar lebih baik. Keinginan serta kegairahan tersebut harus dapat terwujud, sebab usaha-usaha dari pembangunan itu langsung menyangkut kepentingan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Ada dua faktor yang mempengaruhi terhadap berhasil atau gagalnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh Conyers (Ainur Rohman dkk, 2009: 49) yaitu: pertama, hasil keterlibatan masyarakat itu sendiri, masyarakat tidak akan berpartisipasi atau kemauan sendiri atau dengan antusias yang tinggi dalam kegiatan perencanaan kalau mereka merasa bahwa partisipasi mereka dalam perencanaan tersebut tidak mempunyai pengaruh pada rencana akhir. Kedua, masyarakat merasa enggan berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak menarik minat mereka atau yang tidak mempunyai pengaruh langsung dapat mereka rasakan.
Dari berbagai pengalaman pembangunan daerah menunjukkan bahwa tanpa partisipasi masyarakat, maka pemerintahan daerah kekurangan petunjuk mengenai kebutuhan dan keinginan masyarakatnya. Investasi yang ditanamkan di daerah juga tidak mengungkapkan prioritas kebutuhan masyarakat. Selain itu sumber-sumber daya masyarakat yang potensial untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat daerah tidak terungkap, dan standar-standar dalam merancang pelayanan dan prasarana yang tidak tepat.
Berbagai kasus yang tersaji menunjukkan bahwa dengan dibukanya kesempatan berpartisipasi, masyarakat menjadi lebih perhatian terhadap permasalahan yang dihadapi di lingkungannya dan memiliki kepercayaan diri bahwa mereka dapat berkontribusi untuk ikut mengatasinya. Proses dialog stakeholders telah mendorong pemerintahan agar lebih terbuka terhadap masukan stakeholders lain dan lebih responsif terhadap tuntutan  masyarakat. Berbagai praktik partnership menunjukkan bahwa kerja sama yang baik hanya dapat berlangsung apabila komunikasi yang sehat antara pemerintah dan masyarakat terbangun (Sumarto dalam Ainur Rohman dkk, 2009: 48)
Daftar Pustaka
Ainur Rahman dkk. Politik, Partisipasi dan Demokrasi dalam Pembangunan. Malang, Averroes Press, 2009
Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Jakarta, Gramedia, 2004
Dharma Setyawan Salam. Manajemen Pemerintahan Indonesia. Jakarta, Djambatan, 2004
HAW. Widjaja. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002
Mardiasmo. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta, Andi, 2004

Green Economy

Green Economy, Kebijakan Ekonomi Baru Berbasis Lingkungan Beberapa negara di seluruh dunia masih dihantui oleh ancaman krisis global, tidak hanya itu peradaban dunia juga menghadapi persoalan serius terkait dengan degradasi sumber daya alam, energi, lingkungan, dan pangan. Bahkan, di tengah krisis sumberdaya tersebut, di beberapa negara Eropa kini tengah tengah menghadapi krisis finansial.  Sementara posisi Indonesia masih menghadapi tantangan besar di mana model pembangunan ekonomi yang dikembangkan telah menggerakkan pembangunan ekonomi yang cenderung bersifat ekstraktif dan berjangka pendek. Bahkan ada kecenderungan besar di mana upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan.  "Karena itu, maka dibutuhkan pola pendekatan baru, pendekatan Ekonomi Hijau atau Green economy, di mana model pendekatan pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan yang berlebihan," ujar Head, Office of Regional Economic Integration (OREI) Asian Development Bank (ADB), Prof Iwan Jaya Azis dalam ''open lecture on knowledge partnership'' yang diselenggarakan LPPM UGM di Balai Senat UGM.  Dalam diskusi yang dipandu oleh mantan Mendiknas Prof Dr Bambang Sudibyo MBA itu, dengan tegas Prof Iwan Jaya menjelaskan bahwa pendekatan kebijkan ekonomi hijau merupakan suatu lompatan besar untuk meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang telah mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani, termasuk di antaranya menggerakkan perekonomian yang rendah karbon (low carbon economy).  Dosen di Cornell University AS itu menambahkan, pendekatan kebijakan ekonomi hijau diharapkan mampu menggantikan kebijakan-kebijakan lingkungan yang pada masa lampau kerap difokuskan pada solusi jangka pendek. Bahkan lewat pendekatan baru kebijakan ekonomi itu menurutnya mampu bisa menekankan aspek pelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi.  "Model pendekatan green economy ini juga mampu menjawab ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat aktivitas ekonomi termasuk perubahan iklim dan pamanasan global,"
Beberapa negara di seluruh dunia masih dihantui oleh ancaman krisis global, tidak hanya itu peradaban dunia juga menghadapi persoalan serius terkait dengan degradasi sumber daya alam, energi, lingkungan, dan pangan. Bahkan, di tengah krisis sumberdaya tersebut, di beberapa negara Eropa kini tengah tengah menghadapi krisis finansial.
Sementara posisi Indonesia masih menghadapi tantangan besar di mana model pembangunan ekonomi yang dikembangkan telah menggerakkan pembangunan ekonomi yang cenderung bersifat ekstraktif dan berjangka pendek. Bahkan ada kecenderungan besar di mana upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan.
"Karena itu, maka dibutuhkan pola pendekatan baru, pendekatan Ekonomi Hijau atau Green economy, di mana model pendekatan pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan yang berlebihan," ujar Head, Office of Regional Economic Integration (OREI) Asian Development Bank (ADB), Prof Iwan Jaya Azis dalam ''open lecture on knowledge partnership'' yang diselenggarakan LPPM UGM di Balai Senat UGM.
Dalam diskusi yang dipandu oleh mantan Mendiknas Prof Dr Bambang Sudibyo MBA itu, dengan tegas Prof Iwan Jaya menjelaskan bahwa pendekatan kebijkan ekonomi hijau merupakan suatu lompatan besar untuk meninggalkan praktik-praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang telah mewariskan berbagai permasalahan yang mendesak untuk ditangani, termasuk di antaranya menggerakkan perekonomian yang rendah karbon (low carbon economy).
Dosen di Cornell University AS itu menambahkan, pendekatan kebijakan ekonomi hijau diharapkan mampu menggantikan kebijakan-kebijakan lingkungan yang pada masa lampau kerap difokuskan pada solusi jangka pendek. Bahkan lewat pendekatan baru kebijakan ekonomi itu menurutnya mampu bisa menekankan aspek pelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi.
"Model pendekatan green economy ini juga mampu menjawab ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat aktivitas ekonomi termasuk perubahan iklim dan pamanasan global,"

"Blue Economy Memberi Manfaat Ekonomi Lebih Optimal dan Berkelanjutan"

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap akan konsisten menata kembali pola pembangunan kelautan dan perikanan dengan mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan yang lebih menekankan pada konsep Ekonomi Biru. Konsep Blue Economy akan bertumpu pada pengembangan ekonomi rakyat secara komprehensif guna mencapai pembangunan nasional secara keseluruhan. Demikian penegasan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, seusai membuka seminar nasional yang bertemakan “Penguatan Industrialisasi dan Penerapan Konsep Blue Economy dalam Pembangunan Perikanan Tangkap yang Maju dan Berkelanjutan untuk Kesejahteraan Masyarakat”.
Menurut Sharif, konsepsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) seperti konsep blue economy saat ini telah menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Bahkan Presiden RI dalam berbagai forum internasional telah menjadi pelopor dalam mempromosikan penerapan konsep-konsep pembangunan yang berkelanjutan. Menindaklanjuti hal tersebut, KKP yang bergerak di sektor kelautan dan perikanan harus berada di garis terdepan untuk mempromosikan dan melaksanakan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. “Pada dasarnya semua pihak sangat berkepentingan dengan pembangunan yang tidak mengorbankan masa depan. Apa yang kita lakukan sekarang tidak hanya untuk hari ini saja, tetapi juga harus menjadi warisan yang lebih baik bagi generasi mendatang,”jelasnya.
Sharif menegaskan, prinsip blue economy harus diimplementasikan dalam berbagai kebijakan KKP, terutama dalam program percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan. Blue economy merupakan prinsip-prinsip yang harus dipegang dan kemudian dioperasionalkan dalam industrialisasi kelautan dan perikanan. Konsep ini selain mampu menciptakan industri kelautan dan perikanan yang ramah lingkungan, juga dapat melipatgandakan pendapatan, menciptakan kesempatan kerja dan menggerakan perekonomian masyarakat sekitar. “Untuk itu, KKP akan terus mendorong para pemangku kepentingan, baik itu pemerintah daerah, dunia usaha, perguruan tinggi maupun masyarakat luas untuk terus menggali peluang penerapan blue economy dan strategi operasional dalam industrialisasi kelautan dan perikanan,”jelasnya.
Sharif menambahkan, dalam upaya menggali lebih dalam konsepsi dan peluang penerapan blue economy dalam industrialisasi kelautan dan perikanan, KKP telah mengadakan serangkaian diskusi, baik di lingkup internal maupun melibatkan para pakar dan ahli dari luar KKP. Diantaranya dengan mengundang pemrakarsa blue economy, yakni Gunter Pauli yang dikenal dengan bukunya The Blue Economy: 10 years, 100 innovations, and 100 million jobs.  Dari rangkaian diskusi yang telah dilaksanakan tersebut telah berhasil menggali berbagai informasi, prospek, dan peluang penerapan prinsip-prinsip blue economy untuk diterapkan di sektor kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. “Seminar nasional seperti ini diharapkan dapat semakin melengkapi konsepsi dan rencana kerja implementasi prinsip-prinsip blue economy dalam industrialisasi kelautan dan perikanan, khususnya pada industri perikanan tangkap,” ujarnya.

Nilai Tambah Perikanan Tangkap
Sharif menandaskan, pengembangan industrialisasi perikanan tangkap perlu disinergikan dengan penerapan blue economy. Pola ini diharapkan dapat melakukan transformasi untuk meningkatkan daya saing, produktivitas, dan nilai tambah dari sub sektor perikanan tangkap secara berkelanjutan. Apalagi saat ini produksi perikanan tangkap mencapai angka 5,5 juta ton per tahun. Tentunya bukan hanya volume produksinya saja yang meningkat, tapi nilai tambahnya dan memberi dampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat antara lain melalui penciptaan lapangan kerja.”Kami berupaya untuk mendorong agar usaha perikanan tangkap bergairah, di mana salah satunya adalah agar para pelaku usaha memanfaatkan potensi perikanan yang ada di ZEE dan laut lepas,” katanya.
Sharif menjelaskan, untuk mendukung program tersebut KKP telah mengundangkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPP-NRI. Sebagaimana kita ketahui, usaha perikanan tangkap di laut lepas meliputi wilayah samudera hindia dan samudera pasifik dan dapat dilakukan dengan menggunakan kapal perikanan dengan ukuran di atas 30 GT dengan ketentuan harus didaftarkan oleh Pemerintah pada organisasi pengelolaan perikanan regional. “Dengan Permen ini diharapkan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas dapat meningkatkan hasil tangkapan yang berdampak pada meningkatnya ekspor hasil perikanan,” jelasnya.
Pemerintah, tandas Sharif akan memberikan kemudahan untuk mendukung usaha penangkapan ikan dilaut lepas. Diantaranya, ikan hasil tangkapan di laut lepas dapat langsung didaratkan di pelabuhan luar negeri, dengan ketentuan menyampaikan laporan kepada pelabuhan pangkalan di Indonesia dan menyampaikan bukti pendaratan ikan di luar negeri. Kebijakan ini dilakukan dalam rangka pendataan sumber daya dan untuk mengantisipasi kegiatan penangkapan ikan yang melebihi kuota yang telah ditetapkan organisasi internasional. “Mereka juga dapat melakukan transhipment dari kapal penangkap ikan ke kapal pengangkut ikan baik di  tengah laut maupun di pelabuhan negara lain yang menjadi anggota Regional Fisheries Management Organisation (RFMO) pada wilayah RFMO yang sama,” jelasnya.
Menurut Sharif, Permen Nomor PER.30/MEN/2012 ini, memiliki keunggulan dibanding peraturan sebelumnya. Diantaranya, mempercepat industrialisasi perikanan tangkap, dengan aturan yang membolehkan pengadaan kapal perikanan baru dan bukan baru dari dalam negeri dan luar negeri dengan ukuran yang memadai atau lebih besar. Kedua, mengoptimalkan pemanfaatan dan produksi hasil penangkapan ikan di ZEEI di luar 100 mil. Selain itu, Permen ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat perikanan, melalui aturan kewajiban usaha perikanan tangkap terpadu dan pemilik kapal kumulatif di atas 200 GT untuk mengolah ikan hasil tangkapan pada unit pengolahan ikan di dalam negeri. “Sesuai dengan konsep Blue Economy, Permen ini sangat mendukung pengelolaan sumber daya ikan yang bertanggung jawab. Terutama melalui pendataan statistik dan pelaporan hasil tangkapan yang lebih baik,” jelasnya.
Ditambahkan, Permen Nomor PER.30/MEN/2012 secara langsung akan memberikan kemudahan lain bagi para pelaku usaha. Dimana, persyaratan perizinan lebih disederhanakan dan pemeriksaan fisik kapal hanya dilakukan pada saat permohonan awal dan apabila terjadi perubahan. Selain itu, masa waktu pembayaran pungutan pengusahaan perikanan (PPP) dan pungutan hasil perikanan (PHP) lebih diperpanjang yang semula 5 (lima) hari menjadi 10 (sepuluh) hari. Kemudahan lain, pengusaha yang telah memiliki SIUP di Laut Lepas dapat digunakan juga di WPP-NRI, begitupun sebaliknya. “Pemerintah juga akan memberikan insentif bagi pelaku usaha yang melakukan pengembangan usaha pengolahan ikan maupun pelaku usaha yang melakukan pengembangan usaha penangkapan ikan,” tambahnya.

Jakarta, 13 Februari 2013

Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi
Indra Sakti, SE, MM

Sejarah Nazi™

Mungkin nama Adolf Hitler sudah pudar dari muka bumi ini. Pada tahun 1940an nama tersebut menjadi hitlist DUNIA.Adolf hitler merupakan Seorang yg sangat bertangan dingin.Banyak orang mengatakan bahwa beliau adalah ORANG PALING KEJAM DALAM SEJARAH DUNIA
Beratus ribu nyawa bahkan berjuta nyawa dibantai tanpa belas kasihan..
Utk mengetahui lebih Dlam tentang tokoh dunia tsb marilah kita simak RIWAYATNYA serta APA YG DIA LAKUKAN..



Adolf Hitler dilahirkan di Braunau am Inn, Austria, dekat Jerman pada 20 April 1889. Ayah Adolf Hitler, Alois Hitler, merupakan seorang pegawai kantor bea cukai . Setelah ayahnya pensiun, keluarga Hitler pindah ke kota Lambach (awal dari kehidupan yg terus berpindah-pindah di masa pensiun ayahnya) Ibunya merupakan keturunan yahudi.
Di Kota tersebut terdapat sebuah biara Katolik yang dihiasi ukiran kayu dan batu yang diantaranya terdapat beberapa ukiran swastika, yang kemudian menjadi tempat Adolf muda belajar.
Adolf Hitler dapat menyesuaikan dengan baik di sekolah biara tersebut, bahkan konon ia memiliki suara yang lumayan bagus. 
Sebagai Adolf muda, ia juga memiliki idola, yaitu biarawan yang melayani di sekolah biaranya, bahkan ia pernah serius selama 2 tahun bercita-cita ingin menjadi biarawan. Ketika beranjak dewasa, cita-citanya berubah ingin menjadi seorang seniman bahkan ia mencoba untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi seni di Wina, Austria namun gagal, dan bahkan ia pernah menjadi seorang tunawisma di kota ini.
Ketika Perang Dunia I meletus, Hitler turut serta pada usia 25 tahun sebagai pengantar pesan dalam pasukan Infantri Resimen Bavaria ke-16, dan ia merupakan salah satu orang yang paling beruntung di medan pertempuran.
Pernah suatu kali resimennya bertemu pasukan Inggris dan Belgia di dekat Ieper (bahasa Perancis: Ypres), resimennya kehilangan 2.500 dari 3.000 orang, tewas, luka-luka atau hilang dan Adolf Hitler lolos tanpa luka sedikitpun dan beberapa kali ia berdiri di satu tempat dan kemudian berpindah ke tempat lain yang beberapa detik kemudian tempat dia sebelumnya berdiri kejatuhan bom. Luka pertamanya didapatnya pada tanggal 7 Oktober 1916 tepat 2 tahun setelah ia terjun kedalam perang, akibat pecahan mortir di perang di Kota Somme. Ketika gencatan senjata ditanda tangani pada tanggal 11 November 1918, Hitler sedang dirawat di rumah sakit akibat terkena serangan gas klorin dari inggris yang mengakibatkan buta sementara. Ketika itu Hitler menjabat sebagai kopral.

NAZI
Hitler kemudian berkecimpung secara langsung dalam politik dan menjadi pengurus Partai Buruh Jerman (bahasa Jerman Deutsche Arbeiterpartei/DAP) pada bulan Juli 1921. Hitler menggunakan kebolehan berpidatonya untuk menjadi ketua partai. 
Dia kemudian menukar nama DAP menjadi Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP) atau partai Nazi.
Pada tahun 1929 NSDAP menjadi pemenang mayoritas dalam pemilihan umum di kota Coburg, dan kemudian memenangi pemilu daerah Thüringen. Presiden Jerman masa itu, Paul von Hindenburg akhirnya melantik Hitler sebagai Kanselir

Adolf Hitler (1889-1945) memimpin Jerman sebagai seorang diktator sejak 1933 sampai dengan 1945. Ia mengubah Negara Jerman menjadi sebuah mesin perang yang tangguh dan menyebabkan meletusnya Perang Dunia ke II pada tahun 1939. Pasukan Hitler sudah menguasai hamper seluruh daratan Eropa sebelum mereka dikalahkan pada tahun 1945.

Paham FASISME yang dianut Hitler
Fasisme merupakan sebuah paham politik yang mengangungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara.
Kata fasisme diambil dari bahasa Italia, fascio, sendirinya dari bahasa Latin, fascis, yang berarti seikat tangkai-tangkai kayu. Ikatan kayu ini lalu tengahnya ada kapaknya dan pada zaman Kekaisaran Romawi dibawa di depan pejabat tinggi. Fascis ini merupakan simbol daripada kekuasaan pejabat pemerintah.
Pada abad ke-20, fasisme muncul di Italia dalam bentuk Benito Mussolini. Sementara itu di Jerman, juga muncul sebuah paham yang masih bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme dan rasisme yang sangat sangat kuat. Saking kuatnya nasionalisme sampai mereka membantai bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih rendah.








Foto Adolf Hitler ketika muda


Eva Braun lahir di Munchen, Jerman dan berjumpa dengan Adolf Hitler pada tahun 1930 pada usia 17. 
Kala itu ia adalah asisten seorang juru foto Hitler. Pada 1936 ia menjadi pacar Hitler. Pada 29 April 1945, ketika Tentara Merah Uni Soviet sudah berada di kota Berlin, ia menikah dengan Hitler. Sehari kemudian mereka bunuh diri dan jasad mereka dibakar.(Seorang Adolf Hitler juga memiliki kisah cinta yang tragis)


Sedan Mercedes-Benz 770K adalah mobil tunggangan pemimpin Nazi, Adolf Hitler. Sedan cabriolet keluaran 1930–1937 inilah yang kerap mengantar Hitler saat ia menggelar parade.
Pada 6 Januari 1973, sedan mewah elite pada masanya itu dilego sebesar US$ 153 ribu atau Rp 1.3 miliar saat acara lelang mobil-mobil kuno. Dan merupakan sedan bersejarah yang dilelang dengan harga termahal saat itu.

FOTO2 KEGANASAN NAZI DIBAWAH ADOLF HITLER
















Hitler menyatakan bahwa wilayah Jerman saat itu tidak cukup lagi bagi bangsa Jerman dan bahwa ras Aria tengah terhimpit di wilayah ini. Dia kemudian berpendapat bahwa mereka harus menduduki negara-negara Eropa Timur dan menjadikan tempat tersebut Lebensraum, atau "ruang hidup," bagi rakyat Jerman. Puluhan juta orang yang sudah menghuni tempat ini menghadapi pembantaian kejam.Tentara Nazi melakukan pembantaian besar-besaran di setiap wilayah yang mereka duduki di Eropa Timur. Terutama sekali, mereka melakukan tindakan tanpa kenal ampun terhadap bangsa Yahudi, Gipsi, Polandia, dan Slavia, kelompok yang mereka anggap lebih rendah daripada mereka. Satuan SS Nazi khusus yang dibentuk terutama untuk mengadakan pembantaian ini mulai membunuh semua kelompok sasaran mereka, terutama bangsa Yahudi. Semua wilayah yang sudah diduduki dipenuhi jenazah yang tewas dan orang-orang selamat yang meratapi mereka. Para pendeta dan tempat-tempat ibadat merupakan sasaran yang paling disukai oleh Nazi. Mereka membakar dan menghancurkan semua gereja dan membunuh para agamawan.
Kekejaman Nazi benar-benar tampak di pusat-pusat tawanan mereka. Bangsa Yahudi, Gipsi, tahanan perang, dan pendeta Katolik dipaksa bekerja keras layaknya budak. Barak tawanan ini tak ubahnya rumah pejagalan manusia. Berjuta-juta lelaki, perempuan, dan anak-anak yang tak bersalah dibantai secara kejam dengan cara yang dirancang untuk membunuh manusia secara massal. Saat barak tersebut dibebaskan, Sekutu disambut oleh puluhan ribu mayat yang diletakkan berdampingan dengan tahanan yang menunggu di pintu kematian. Di dalam barak tawanan Nazi, sejumlah 11 juta orang tidak bersalah kehilangan nyawa mereka.

Sungguh seorang tokoh yg sangat berpengaruh besar..!!!

Dibalik Kebesaran Soekarno


“AKU ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat.” Pengakuan ini meluncur dari Soekarno, Presiden RI pertama, dalam karyanya Menggali Api Pancasila. Sadar atau tidak sadar ia mengucapkannya, terkesan ada kejujuran di sana. Soekarno, sang orator ulung dan penulis piawai, memang selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup. Dari pidato dan tulisannya yang memperlihatkan betapa mahirnya ia menggunakan bahasa, tersirat sebuah kebutuhan untuk selalu mendapat dukungan dari orang lain.
Gejala berbahasa Soekarno, Bung Karno, merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Wajar kalau muncul pertanyaan “Apakah kemahiran Soekarno menggunakan bahasa dengan segala ma-cam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya?” Analisis terhadap kepribadian Soekarno melalui autobiografi, karangan-karangannya, dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya dapat membantu memberikan jawaban. Dengan menggunakan pendekatan teori psi-kologi individual dari Alfred Adler (Hall dan Lindzey, 1985) dapat dipahami bagaimana Proklamator Kemerdekaan RI ini bisa menjadi pribadi yang berapi-api, pembakar semangat banyak orang, gagah dan teguh sekaligus sensitif, takut pada kesendirian, dan sangat membutuhkan dukungan sosial.
Pribadi yang kesepian
Di akhir masa kekuasaannya, Soekarno sering merasa kesepian. Dalam autobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat, ia menceritakannya.
“Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.’… Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”
(Adams, 2000:3)
“Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil… Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu… Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.”
(Adams, 2000:14)
Apa yang ditampilkan Soekarno dapat dilihat sebagai sindrom orang terkenal. Ia diklaim milik rakyat Indonesia. Walhasil, ia tak bisa lagi bebas bepergian sendiri menikmati kesenangannya (Adams, 2000:12). Namun, melihat ke masa mudanya, kita juga menemukan tanda-tanda kesepian di sana. Semasa sekolah di Hogere Burger School (HBS), ia menekan kesendiriannya dengan berkubang dalam buku-buku, sebuah kompensasi dari kemiskinan yang dialaminya. Kebiasaan ini berlanjut hingga masa ia kuliah di Bandung. Soekarno terkenal sebagai pemuda yang pendiam dan suka menarik diri (Adams, 2000:89-91).
Indikasi kesepian juga kita dapatkan dalam ceritanya tentang penjara. Malam-malam di penjara menyiksanya dengan ruang yang sempit dan tertutup. Dinding-dinding kamar tahanannya terlalu menjepit dirinya. Lalu muncullah perasaan badannya yang membesar hingga makin terjepit dalam ruang tahanan itu.
“Yang paling menekan perasaan dalam seluruh penderitaan itu adalah pengurungan. Seringkali jauh tengah malam aku merasa seperti dilak rapat dalam kotak kecil berdinding batu yang begitu sempit, sehingga kalau aku merentangkan tangan, aku dapat menyentuh kedua belah dindingnya. Rasanya aku tak bisa bernafas. Kupikir lebih baik aku mati. Suatu perasaan mencekam diriku, jauh sama sekali dari keadaan normal.” (Adams, 2000:135)
Lebih jauh lagi ke masa kecilnya, Soekarno sering merasa sedih karena hidup dalam kemelaratan sehingga tak dapat menikmati benda-benda yang diidamkannya. Di saat anak-anak lain dapat menikmati makanan jajanan dan mainan, Karno hanya dapat menyaksikan mereka dengan perasaan sedih. Lalu ia menangis mengungkapkan ketidakpuasan sekaligus ketakberdayaannya. Selain itu, di lingkungan sekolah ia harus berhadapan dengan anak-anak Belanda yang sudah terbiasa memandang remeh pribumi.
Pengalaman yang cukup traumatis terjadi di masa lima tahun pertama. Soekarno pernah berturut-turut menderita penyakit seperti tifus, disentri, dan malaria yang berujung pada penggantian namanya dari Kusno menjadi Karno, nama seorang tokoh pewayangan putra Kunti yang berpihak pada Kurawa demi balas budi dan kewajiban membela negara yang menghidupinya. Sakit yang melemah-kan secara fisik dapat berpengaruh terhadap kondisi psikis. Sangat mungkin muncul perasaan lemah, tak berdaya, dan terasing pada diri Soekarno kecil. Untungnya dilakukan penggantian nama disertai penjelasan dari ayahnya tentang makna pergantian nama yang memberinya kebanggaan karena menyandang nama pejuang besar.
Pengalaman sakit-sakitan dan hidup dalam kemiskinan tampak membekas kuat dalam ingatan Soekarno. Di masa tuanya, ia menafsirkan kegemarannya bersenang-senang sebagai kompensasi dari masa lalunya yang dirampas kemiskinan (Adams, 2000). Ada semacam dendam terhadap kemiskinan dan ketidakberdayaan yang telah berkilat dalam dirinya. Dendam yang kemudian menggerakkannya pada semangat perjuangan kemerdekaan dan keinginan belajar yang tinggi.
Mitos-mitos dari masa kecil
Sejak kecil, Soekarno sudah menyimpan mitos tentang diri-nya sebagai pejuang besar dan pembaru bagi bangsanya. Ibunya, Ida Nyoman Rai, menceritakan makna kelahiran di waktu fajar.
“Kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing. Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar.” (Adams, 2000:24)
Tanggal kelahiran Soekarno pun dipandangnya sebagai pertanda nasib baik.
“Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam bulan enam. Adalah menjadi nasibku yang paling baik untuk dilahirkan dengan bintang Gemini, lambang kekembaran. Dan memang itulah aku sesungguhnya. Dua sifat yang berlawanan.” (Adams, 2000:25)
Soekarno melihat dirinya yang terdiri dari dua sifat yang berlawanan sebagai satu kemungkinan pertanda nasibnya di dunia politik.
“Karena aku terdiri dari dua belahan, aku dapat memperlihatkan segala rupa, aku dapat mengerti segala pihak, aku memimpin semua orang. Boleh jadi ini secara kebetulan bersamaan. Boleh jadi juga pertanda lain. Akan tetapi kedua belahan dari watakku itu menjadikanku seseorang yang merangkul semua-nya.”
Kejadian lain yang dianggap pertanda nasib oleh Soekarno adalah meletusnya Gunung Ke-lud saat ia lahir. Tentang ini ia menyatakan, “Orang yang percaya kepada takhayul meramalkan, ‘Ini adalah penyambutan terhadap bayi Soekarno,” Selain itu, penjelasan tentang penggantian nama Kusno menjadi Karno pun memberi satu mitos lagi dalam diri Soekarno kecil tentang dirinya sebagai calon pejuang dan pahlawan bangsanya.
Kepercayaan akan pertanda-pertanda yang muncul di hari kelahiran Soekarno memberi semacam gambaran masa depan dalam benak Soekarno sejak masa kecilnya. Dalam kerangka pemikiran Adler, gambaran masa depan itu disebut fictional final goals (tujuan akhir fiktif). Meskipun fiktif (tak didasari kenyataan), tetapi gambaran masa depan ini berperan menggerakkan kepribadian manusia untuk mencapai kondisi yang tertuang di dalamnya (Adler, 1930:400). Riwayat hidup Soekarno memperlihatkan bagaimana gambaran dirinya di masa depan dan persepsinya tentang Indonesia menggerakkannya mencapai kemerdekaan Indonesia.
Bombasme bahasa dan keinginan merengkuh massa
Setelah menjadi presiden, Soekarno berpidato tiap tanggal 17 Agustus. Di sana dapat kita temukan kalimat-kalimat muluk, penggunaan perumpamaan elemen-elemen alam yang megah dan hiperbolisme bahasa. Dari tahun ke tahun pidatonya makin gegap-gempita, mencoba membakar semangat massa pendengarnya dengan retorika kata-kata muluk.
Dari kalimat-kalimat itu dapat dibayangkan seperti apakah kondisi psikis orang yang menggunakannya. Dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1949, contohnya, ia berseru, “Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali.” Di sini ada indikasi ia menempatkan diri sebagai orang yang bersemangat elang rajawali sehingga memiliki hak dan kewajiban untuk menyerukan pada rakyatnya agar memiliki semangat yang sama dengannya.
Seruan-seruan yang sering dilontarkan dalam pidatonya adalah tentang perjuangan yang harus dilakukan tak henti-henti.
“Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu.”
(Pidato 17 Agustus 1948)
“Tidak seorang yang menghitung-hitung: Berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya.”
(Pidato 17 Agustus 1956)
“Karena itu segenap jiwa ragaku berseru kepada bangsaku Indonesia: “Terlepas dari perbedaan apa pun, jagalah Persatuan, jagalah Kesatuan, jagalah Keutuhan! Kita sekalian adalah machluk Allah! Dalam menginjak waktu yang akan datang, kita ini se-olah-olah adalah buta.”
(Pidato 17 Agustus 1966)
Selain ajakan untuk berjuang, tersirat juga dari petikan-petikan tersebut bahwa Soekarno memandang dirinya sebagai orang yang terus-menerus berjuang mengisi kemerdekaan. Pengaruh fictional final goals-nya terlihat jelas, Soekarno yang sejak kecil membayangkan diri menjadi pemimpin bangsanya dengan kepercayaan tinggi menempatkan dirinya sebagai guru bagi rakyat.
“Adakanlah ko-ordinasi, ada-kanlah simponi yang seharmonis-harmonisnya antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum, dan janganlah kepentingan sendiri itu dimenangkan diatas kepentingan umum.”
(Pidato 17 Agustus 1951)
“Kembali kepada jiwa Proklamasi …. kembali kepada sari-intinya yang sejati, yaitu pertama jiwa Merdeka Nasional… kedua jiwa ichlas… ketiga jiwa persatuan… keempat jiwa pembangunan.”
(Pidato 17 Agustus 1952)
“Dalam pidatoku “Berilah isi kepada kehidupanmu” kutegaskan: “Sekali kita berani bertindak revolusioner, tetap kita harus berani bertindak revolusioner…. jangan ragu-ragu, jangan mandek setengah jalan…” kita adalah “fighting nation” yang tidak mengenal “journey’s-end”
(Pidato 17 Agustus 1956)
Keinginannya untuk merengkuh massa sebanyak-banyaknya tampak dari kesenangannya tampil di depan massa. Bombasme-kecenderungan yang kuat untuk menggunakan kalimat-kalimat muluk dan ide-ide besar yang tidak disertai oleh tindakan konkret-praktis untuk mencapainya yang ditampilkannya dapat diartikan sebagai usaha memikat hati rakyat. Pidato-pidatonya banyak mengandung gaya hiperbola dan metafora yang berlebihan seperti “Laksana Malaikat yang menyerbu dari langit”, “adakanlah simfoni yang seharmonis-harmonisnya antara kepentingan sendiri dan kepentingan umum”, “Bangsa yang gila kemuktian, satu bangsa yang berkarat”, dan “memindahkan Gunung Semeru atau Gunung Kinibalu sekalipun.” Simak kutipan-kutipan berikut bagaimana gaya bahasa yang digunakan untuk memikat massa.
“Janganlah melihat ke masa depan dengan Mata Buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca mata benggalanya dari pada masa yang akan datang.”
(Pidato 17 Agustus 1966)
“Atau hendakkah kamu menjadi bangsa yang ngglenggem”? Bangsa yang ‘zelfgenoegzaam’? Bangsa yang angler memeteti burung perkutut dan minum teh nastelgi? Bangsa yang demikian itu pasti hancur lebur terhimpit dalam desak mendesaknya bangsa-bangsa lain yang berebut rebutan hidup!”
(Pidato 17 Agustus 1960)
Kita mau menjadi satu Bangsa yang bebas Merdeka, berdaulat penuh, bermasyarakat adil makmur, satu Bangsa Besar yang Hanyakrawati, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tedas tapak palune pande, ora tedas gurindo.
(Pidato 17 Agustus 1963)
Gaya menggurui dari tahun ke tahun makin jelas terlihat dalam pidato Soekarno. Ia makin sering membuka pidatonya dengan kalimat “Saya akan memberi kursus tentang”. Pengaruh gambaran masa kecilnya tentang Soekarno sebagai pembuka fajar baru bagi bangsanya makin tegas. Ia tak menyadari bahwa gambaran itu bersifat fiktif, tak didasari kenyataan. Soekarno melambung tinggi dengan ide-idenya dan cenderung mengabaikan kondisi konkret bangsanya terutama kondisi ekonomi.

Konspirasi IMF atas Pembentukan New World Order

(“IMF (the lnternational Monetery Fund) dan Bank Dunia adalah lembaga dana moneter intemasional yang dalam missinya disebutkan untuk memberikan bantuan kepada negara-negara yang tengah mengalami kesulitan likuiditas keuangan atau menghadapi masalah moneter. Dalam kenyataannya IMF, dan Bank Dunia, yang saham mayoritasnya sebesar 51 % dikuasai oleh departemen keuangan Amerika Serikat. John Reed, CEO Citigroup dan Sandy Weil, CEO Traveler’s Group., mengucapkan selamat datang kepada Robert Rubin, mantan menteri keuangan di era presiden BillClinton. Rubin bergabung dengan Citigroup pada bulan Oktober 1999″).
Yang telah kita ketahui ialah bagian terbesar dari saham the Fed dikuasai oleh para bankir raksasa Yahudi. Dengan uang-kertas dolar yang ongkos cetaknya, tidak peduli berapa pun nilai denominasinya di lembaran itu, hanyalah 3 sen dolar per lembar, praktis the Fed memiliki kekuasaan atas keuangan dunia hampir-hampir tanpa biaya. Meski ada beberapa kekeliruan pandangan tentang IMF dan Bank Dunia, tetapi tidak dapat disangkal bahwa keduanya, baik IMF maupun Bank Dunia, merupakan dua instrumen kekuasaan yang digunakan oleh Barat (baca : kelompok Zionis) untuk menghancurkan negara-negara yang berdaulat agar menjadi tidak lebih daripada sekedar teritori (ekonomi-keuangan) mereka, yang pada gilirannya akan kehilangan kedaulatan politik mereka.
Tatkala suatu missi IMF memasuki suatu negara, mereka sebenarnya tidak lain menjalankan rancangan untuk penghancuran lembaga-lembaga sosial-ekonomi di balik dalih persyaratan untuk meminjamkan uang. Menurut Joseph Stiglitz, mantan Kepala Tim Ekonom Bank Dunia, IMF biasanya mengembangkan program empat langkah.
Langkah pertama adalah program’ Privatisasi’ , yang menurut Stiglitz lebih tepat disebut dengan nama program ‘Penyuapan’. Pada program ini perusahaan-perusahaan milik negara penerima bantuan IMF harus dijual kepada swasta dengan alasan untuk mendapatkan dana tunai segar. Pada tahapan ini menurut Stiglitz, “Kita bisa melihat bagaimana mata para pejabat keuangan di negara penerima bantuan itu terbelalak, tatkala mengetahui prospek ‘pemberian’ 10% komisi beberapa milyar dolar yang akan dibayarkan langsung ke rekening pribadi yang bersangkutan di suatu bank Swiss, yang diambilkan dari harga penjualan aset nasional mereka tadi”.
Sebagai contoh, dimana pemerintah Amerika Serikat (harap dicatat departemen luar negeri, departemen pertahanan, dan departemen keuangan, sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang Yahudi), terlibat dalam kasus “penyuapan” terbesar yang pernah ada, pada program “privatisasi” di Rusia pada tahun 1995, ketika pemerintah Amerika Serikat (Yahudi) menghendaki Yeltsin terpilih lagi. “Kami tidak peduli kalau pemilihan itu adalah pemilihan yang korup. Kami ingin uang itu sampai ke tangan Yeltsin melalui ‘bawah-meja’ untuk keperluan kampanyenya”. Yang paling menyakitkan hati bagi Stiglitz bahwa oligarchie Rusia yang didukung oleh Amerika Serikat itu menyapu habis aset industri BUMN Rusia dengan akibat, korupsi tersebul memotong pendapatan nasional Rusia tinggal hampir separuhnya saja yang menyebabkan depresi ekonomi dan kelaparan.
Sesudah program “penyuapan” itu langkah kedua IMF/Bank Dunia adalah rencana “satu-ukuran-(yang) pas – untuk menyelamatkan ekonomi anda” (‘all size – economic solution ‘), yaitu “Liberalisasi Pasar Modal”. Dalam teorinya deregulasi pasar modal memungkinkan modal investasi mengalir keluar-masuk. Namun, dengan ditingkatkannya pemasukan modal investasi dari luar, pada gilirannya akan menyebabkan pengurasan cadangan devisa negara yang bersangkutan untuk mendatangkan aset melalui impor dari negara-negara yang ditunjuk oleh IMP. Malangnya lagi, dalam kasus Indonesia dan Brazil, lagi-lagi menurut Stiglitz, modal itu hanya keluar dan keluar, tidak pernah balik.
Tatkala suatu missi IMF memasuki suatu negara, mereka sebenarnya tidak lain menjalankan rancangan untuk penghancuran lembaga-lembaga sosial-ekonomi di balik dalih persyaratan untuk meminjamkan uang.
Stiglitz menyebut program “privatisasi” ini sebagai daur “uang panas”. Dana tunai dari luar masuk untuk spekulasi di bidang real-estate dan valuta, kemudian hengkang bila ada tanda-tanda akan ada kerusuhan. Akibat dari yang pertama di atas dan kedua ini, cadangan devisa negara bisa habis menguap dalam ukuran hari, bahkan jam. Dan bilamana hal itu sampai terjadi, maka untuk merayu kaum spekulan untuk mau mengembalikan dana modal nasional, IMF menuntut negara-negara debetor ini menaikkan suku-bunga banknya menjadi 30%, 50%, hahkan 80%. Ketetapan itu diikuti dengan persyaratan kebijakan deregulasi peraturan perbankan, diberlakukannya kebijakan uang ketat (‘austerity policies’), dihentikannya subsidi pada bidang-bidang yang berkaitan dengan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat. Pada negara-negara yang sedang berkembang, dimana program pcmbangunan bagian terbesar masih menjadi tanggung-jawab negara, pemberlakuan politik uang ketat berdampak buruk terhadap kehidupan sektor riel. Penghentian subsidi terhadap sektor strategis seperti pangan, bahan bakar, transportasi, pendidikan, dan sebagainya selalu berakhir dengan krisis politik di negara-negara yang bersangkutan.
“Hasilnya bisa diprediksi”, kata Stiglitz mengomentari tentang gelombang pasang uang panas di Asia dan Amerika Latin. “Suku bunga yang tinggi menghancurkan nilai properti, memangsa produksi industri, dan mengeringkan dana nasional”.
Pemasukan modal investasi dari luar, meskipun tampaknya membantu untuk memperluas kesempatan kerja, dalam kenyataannya persyaratan itu telah membunuh usaha bumiputera setempat, yang pada gilirannya jatuh bergelimpangan, karena belum mampu bersaing khususnya untuk pemasaran. Acapkali kebijakan seperti itu berakibat dengan penutupan pabrik-pabrik, karena pemerintah tuan-rumah dan sektor swasta domestik tidak cukup memiliki modal. Contoh paling mutakhir adalah bangkrutnya ekonomi Argentina pada bulan Januari 2002 yang menimbulkan situasi kekacauan politik dan sosial.
Pada tahapan ini IMF menarik negara debetor yang tengah megap-megap itu ke langkah ketiga, yaitu “Pricing – Penentuan Harga Sesuai Pasar”, sebuah istilah yang muluk untuk program menaikkan harga komoditas strategis seperti pangan, air bersih, dan BBM. Tahapan ini sudah dapat diprediksi akan menuju ke langkah tiga-setengah, yaitu apa yang dinamakan oleh Stiglitz, “Kerusuhan IMF”.
“Kerusuhan hasil ciptaan IMF” itu sudah bisa diprediksikan dan sangat menyakitkan hati. Tatkala suatu negara sudah jatuh pingsan (IMF) akan mengambil keuntungan dan memeras sampai tetes darah terakhir yang masih ada pada negara debetor. Suhu akan terus meningkat, dan pada saatnya ketel itu meledak”, seperti halnya ketika IMF, menurut Stiglitz, mengharuskan menghapus subsidi untuk beras dan BBM bagi kaum miskin di Indonesia pada tahun 1998. Indonesia meledak dengan kerusuhan. Dan masih ada contoh kasus lain – kerusuhan di Bolivia, sehubungan dengan kenaikan tarif air bersih pada tahun 2001, dan pada bulan Februari 2002 kerusuhan di Ekuador karena kenaikan harga gas dapur yang diperintahkan oleh Bank Dunia. Kesan yang ada ialah kerusuhan itu memang direncanakan.
Dan memang begitu. Apa yang tidak diketahui Stiglitz, bahwa BBC dan koran the Observer, London, berhasil memperoleh beberapa dokumen dari kalangan dalam Bank Dunia, yang diberi cap ‘Confidential’, ‘Restricted’, dan ‘Not to be Disclosed’. Salah satu di antara dokumen-dokumen itu adalah apa yang disebut ‘Interim Country Assistance Strategy’ (‘Strategi Bantuan Sementara’) untuk Ekuador. Di dalam dokumen itu Bank Dunia beberapa kali menjelaskan – dengan ketepatan yang mendirikan bulu roma – bahwa mereka mengharapkan rencana mereka akan menyalakan “kerusuhan sosial”, begitu istilah birokrasi terhadap negara yang terbakar.
Hal itu tidak perlu membuat kaget. Laporan rahasia itu mencatat, rencana itu dimaksudkan agar nilai mata-uang Ekuador dengan dolar Amerika akan mendorong 51 % dari penduduk Ekuador agar berada di bawah garis kemiskinan. Rencana “Bantuan” Bank Dunia di dalam laporan itu semata-mata menyeru untuk “meredakan tuntutan dan penderitaan rakyat” dengan “penyelesaian politik” -tanpa menyinggung aspek ekonomi dan harga-harga yang kian melambung
“Kerusuhan IMF” (yang dimaksudkan dengan ‘kerusuhan’ disini ialah demonstrasi damai yang dibubarkan dengan gas air-mata, peluru, dan tank), menyebabkan panik baru yang berakibat dengan pelarian modal (‘capital flight’) dan kebangkrutan pemerintah setempat. Kebakaran ekonomi ini mempunyai sisi terangnya – untuk perusahaan perusahaan asing, yang yang mendapatkan kesempatan menyabet sisa aset negara yang sedang kacau-balau itu, seperti konsesi pertambangan, perbankan, perkebunan, dan lain sebagainya dengan harga obral-besar-besaran. Contoh ini terlihat pada kepanikan pemerintah Indonesia yang melakukan “divestasi” degan harga obral-obralan pada BCA (‘Bank Central Asia’), bank paling berhasil di Indonesia, pabrik semen, perkebunan kelapa sawlt, bisnis telekomunikasi, dan sebagainya, yang kesemuanya sebenamya merupakan “tambang emas” (‘money-machines’) bagi Indonesia.
Stiglitz mencatat bahwa IMF dan Bank Dunia bukanlah penganut yang tidak punya perasaan terhadap ekonomi pasar. Pada waktu yang sama IMF menghentikan Indonesia untuk memberi subsidi pangan. Menurut IMF, “ketika bank-bank membutuhkan bail-out, intervensi (terhadap pasar) dapat diterima”. IMF menumpahkan berpuluh milyar dolar untuk menyelamatkan para finansier Indonesia dengan tambahan pinjaman dana dari bank-bank Amenka dan Eropa.
Suatu pola muncul. Dalam sistem ini banyak yang rugi, tetapi ada satu pemenang : yaitu, bank-bank Barat dan departemen keuangan Amerika Serikat, yang menghasilkan keuntungan besar dari celengan modal internasional ini. Stiglitz menceriterakan pengalaman pertemuan pertamanya, ketika baru menjabat di Bank Dunia, dengan presiden baru Etiopia dalam rangka pemilihan umum demokratis yang pertama di negeri itu.
Bank Dunia dan IMF menginstruksikan Etiopia untuk mengalihkan uang bantuan ke rekening cadangannya di departemen keuangan Amerika Serikat, yang akan memberikan bunga 4%, sementara Etiopia meminjam kepada Amerika Serikat dengan bunga 12% untuk memberi makan rakyatnya. Presiden Etiopia yang baru memohon kepada Stiglitz agar uang bantuan itu dapat digunakan sendiri untuk membangun negerinya. Tetapi tidak, uang hasil rampokan itu langsung masuk ke kas departemen keuangan Amerika Serikat di Washington.
Kini kita sampai ke tahap keempat yang oleh IMF dan Bank Dunia diberi nama “Strategi Pengentasan Kemiskinan”: yaitu, Pasar Bebas. Yang dimaksud ialah ‘pasar bebas’ berdasarkan aturan dari WTO (‘World Trade Organization’ – Organisasi Perdagangan Dunia’) dan Bank Dunia. Stiglitz, orang dalam Bank Dunia itu menyamakan ‘pasar bebas’ dengan ‘perang candu’. “Konsep itu bertujuan membuka pasar”, katanya. “Persis seperti halnya pada abad ke-19, negara-negara Barat dan Amerika Serikat menghancurkan rintangan yang ada bagi perdagangan di Cina. Sekarang hal yang sama dilakukan untuk membuka pasar agar mereka dapat berdagang di Asia, Amerika Latin dan Afrika, sementara negara-negara Barat itu memasang tembok yang tinggi terhadap impor hasil pertanian dan produk manufaktur dari Dunia Ketiga”.
Sebagai akibat program’ pasar-bebas’. Para pengusaha kapitalis lokal terpaksa meminjam pada suku-bunga sampai 60 % dari bank lokal dan mereka harus bersaing dengan barang-barang impor dari Amerika Serikat atau Eropa, dimana suku-bunga berkisar tidak lebih dari antara 6 – 7 %. Program semacam ini berakibat mematikan kaum kapitalis lokal
Dalam ‘Perang Candu’, negara-negara Barat mengerahkan blokade militer untuk memaksa Cina membuka pasamya bagi perdagangan mereka yang tidak seimbang. Sekarang Bank Dunia dapat memerintahkan blokade keuangan, yang sama efektifnya seperti pada ‘Perang Candu’ – dan sarna mematikannya.
Stiglitz khususnya sangat emosional ketika membahas tentang pcrjanjian hak-hak intelektual (dalam bahasa Inggeris disingkat dcngan TRIPS). Menurut mantan Ketua Tim Ekonom Bank Dunia itu, ‘Tata Dunia Baru’ (‘Novus Ordo Seclorum’) itu pada telah “menjatuhkan vonis hukuman mati kepada rakyat sedunia”, dengan cara memberlakukan tarif dan “upeti” yang tidak masuk akal yang harus dibayarkan kepada perusahaan obat-obatan yang punya merk. “Mereka tidak peduli”, kata profesor yang bekerja-sama dl bidang urusan kredit bank dengan perusahaan-perusahaan obat-obatan itu, “apakah orang akan hidup atau mati”.
Sebagian besar publik, terutama pemerintahan negara-negara di Dunia Ketiga masih memandang IMF dan Bank Dunia sebagai lembaga dengan wajah yang manusiawi, seperti yang dinyatakan dalam charter-nya, “turut-serta dalam upaya menghapuskan kemiskinan”. Dalam kenyataannya, IMF lebih sukses berperan dalam menciptakan kemiskinan negara-negara yang sedang berkembang, ketimbang mengatasi kemiskinan yang mereka derita. Kalau ada yang menyangka ada konflik antara keduanya, antara IMF dan Bank Dunia, maka perkiraan itu keliru sekali.
Harap disini jangan sampai dibuat bingung ketika terjadi campur-aduk dalam pembicaraan mengnai IMF, Bank Dunia, dan WTO. Lembaga-Iembaga itu sebenamya tidak lain hanyalah topeng yang dapat dipertukarkan yang berasal dari suatu sistem kekuasaan yang tunggal, kaum Zionis, sesuai keperluannya. Mereka terhubung satu dengan lainnya melalui suatu sistem yang mereka sebut “pemicu”.
Ketika suatu negara memohon kredit kepada Bank Dunia untuk keperluan pendidikan, misalnya, maka permohonan tadi akan “memicu” suatu kebutuhan untuk menerima ‘persyaratan’ apa pun – yang mereka tetapkan rata-rata sebanyak 111 poin untuk setiap negara – yang ditetapkan secara sepihak oleh Bank Dunia dan IMF. Menurut Stiglitz, “IMF mengharuskan negara debitur menerima kebijakan perdagangan yang lebih bersifat punitif ketimbang aturan-aturan dari WTO”.1
IMF dan Bank Dunia memang mempunyai misi yang sarna di Dunia Ketiga. Kenyataannya sederhana: Wall Street berdiri di belakang kedua lembaga ini. Mereka dijalankan oleh para bankir, umumnya bankir Yahudi. Harus diingat, mereka adalah pebisnis uang dan profiteur, bukan sosiolog anthropolog, apalagi kaum philanthropis.
Selain itu yang tidak banyak disadari orang ialah ‘pasar bebas’ pada hakekatnya adalah saudara kandung dari perang. Yang lebih penting lagi, masyarakat Dunia Ketiga pada umumnya gagal melihat hubungan erat antara gagasan pasar-bebas dengan kepentingan negara-neganl Barat. Misalnya, sedikit sekali organisasi yang mengkritik lembaga-lembaga produk Bretton Woods itu, dibandingkan dengan suara yang menentang serangan Amerika Serikat terhadap Afghanistan, misalnya mereka tidak menyuarakannya di Seattle (ketika konperensi APEC), dan juga tidak melakukannya di Washington, DC.
Harap disini jangan sampai dibuat bingung ketika terjadi campur-aduk dalam pembicaraan mengnai IMF, Bank Dunia, dan WTO. Lembaga-Iembaga itu sebenamya tidak lain hanyalah topeng yang dapat dipertukarkan yang berasal dari suatu sistem kekuasaan yang tunggal, kaum Zionis, sesuai keperluannya. Mereka terhubung satu dengan lainnya melalui suatu sistem yang mereka sebut “pemicu”.
Mereka berkampanye menentang ‘pasar bebas’, menentang IMF, dan memihak kepada kampanye Jubilee untuk menghapus hutang Dunia Ketiga, tetapi tidak terhadap peperangan. ‘Pasar bebas’ dan perang berjalan bergandengan tangan. Sarna seperti halnya negara-negara Barat, seperti dikatakan Stiglitz di atas tadi, pada abad ke-19 memaksa Cina melakukan “perdagangan bebas opium”, dan hal itu masih berlaku sekarang. Kalau dalam abad ke-19 negara-negara Barat mengeluarkan dalih “memberantas perompakan di laut” untuk menutup-nutupi agenda kolonialisme dan imperialisme mereka, dewasa ini Amerika Serikat berdalih “memerangi terorisme internasional” untuk mendapatkan konsesi pemasangan pipa minyaknya melalui wilayah Afghanistan.
Koordinasi antara negara-negara Barat dengan ‘pasar-bebas’ sangat jelas. Bisa dilihat contoh di Kosovo. IMF dan Bank Dunia telah merancang rencana ekonomi pasca-perang, termasuk ‘pasar-bebas’, bahkan jauh hari sebelum jatuhnya born pertama. Keduanya bergandengan tangan. Jika suatu negara menolak intervensi IMF, maka negara-negara Barat, dengan intervensi politik atau mengerahkan berbagai badan-badan rahasia dan kegiatan subversif, akan masuk. Tugas mereka menciptakan iklim yang kondusif bagi program-program IMF dan negara-negara Barat (baca: Zionis) untuk akhirnya dapat dilaksanakan di negara-negara tersebut. Negara seperti lndonesia menjadi contoh betapa program pinjaman hutang IMF makin menambah krisis yang memang sudah parah.
Negara-negara yang menerima apa yang disebut dengan nama “bantuan pinjaman” IMF, seperti Bulgaria dan Romania, termasuk Indonesia, mungkin tidak mendapatkan ‘carpet bombing’, tetapi mereka dihancurkan hanya dengan satu goresan pena. Bahasa badan tidak dapat menutup-nutupi pikiran yang ada di benak seseorang. Tentang hal itu, menarik memperhatikan keangkuhan gaya Camdessus, direktur eksekutif IMF untuk Asia-Pasifik, ketika ia menyaksikan presiden Republik Indonesia, Soeharto, terpaksa menanda-tangani Memorandum of Understanding dalam rangka memohon bantuan pinjaman IMF untuk Indonesia pada tahun 1998. Memorandum itu ternyata merupakan awal dari agenda penghancuran ekonomi Indonesia yang memang sudah terpuruk. Di Bulgaria IMF melakukan reformasi yang sangat drastis. IMF menghancurkan kondisi sosial : pensiun dipotong, pabrik-pabrik terpaksa ditutup, ada barang-barang produk pabrik yang di-dumping, penghapusan subsidi perawatan kesehatan dan subsidi transportasi secara cuma-cuma bagi rakyat, dan sebagainya.
Keprihatinan Stiglitz tentang rencana-rencana dari IMF dan Bank Dunia yang dirumuskan secara rahasia dan didorong oleh suatu ideologi dari kaum absolutis, dan yang tidak membuka peluang untuk diskusi atau penolakan. Meski negara-negara Barat mendorong pemilihan umum di seluruh negara-negara yang sedang berkembang, apa yang mereka sebut “Program Pengentasan Kemiskinan” sebenamya “merongrong demokrasi”.
Dan program itu temyata tidak jalan. Produktivitas negara-negara Afrika Hitam di bawah bimbingan tangan “bantuan” struktural, IMF gagal total dan programnya hancur berantakan. Apakah ada negara-negara debitur yang mampu menghindari malapetaka ini ? “Ada”, kata Stiglitz seraya menunjuk Botswana. Apa yang mereka lakukan? “Mereka menghardik IMF untuk berkemas-kemas meninggalkan negeri itu”.
Lalu bagaimana cara membantu negara-negara yang sedang berkembang itu. Stiglitz mengusulkan adanya rencana land-reform yang radikal, serangan langsung ke jantung “pertuan-tanahan”, pada harga sewa yang keterlaluan, yang dikenakan oleh oligarki pemilik tanah di seluruh dunia, lazimnya tidak kurang dari 50% dari hasil panen dari si penyewa tanah (sistem “paron”).
Sebagai salah seorang mantan pejabat tinggi di Bank Dunia, apakah gagasan ini pemah diusulkan oleh Stiglitz? Kalau anda menantang (kepemilikan tanah), hal itu niscaya akan menimbulkan perubahan pada elit yang berkuasa. Karenanya, soal itu tidak masuk prioritas utama mereka”. Setiap kali solusi dengan konsep ‘pasar bebas’ menemui kegagalan, menurut Stiglitz, IMF tidak lain hanya menuntut kebijakan “pasar yang lebih bebas”.
“Halnya sama dengan di masa Abad Pertengahan”, kata Stiglitz. “Tatkala sang pasien meninggal, mereka berkata, ‘Ia terlalu banyak kehilangan darah, sebenarnya darahnya masih ada sedikit di tubuhnya’
Bantuan Ekonomi dan Kolonialisasi Gaya-Baru
Di Asia Tengah, Balkan, dan Kaukasus, reformasi dan program privatisasi dari IMF dan Bank Dunia berjalan bergandengan tang an bukan hanya dengan agenda negara-negara Barat, tetapi juga dengan operasi intelijen CIA, yang dilakukan secara tertutup. Pengelolaan lembaga perang dan ekonomi dilakukan dengan interface satu dengan yang lain pada peringkat global.
Jadi pada saat ini berbagai negara dilemahkan dengan konflik-konflik regional dan domestik yang dibiayai oleh dana keuangan Barat, baik secara terbuka maupun seeara tertutup. Kosovo Liberation Army, Aliansi Utara di Afghanistan, (GAM di Aceh ?), hanyalah sekian contoh dari beberapa kasus, bagaimana gerakan insurgensi di suatu negara dibiayai oleh Barat. Konflik-konflik yang dimanipulasi di Kosovo, Afghanistan, Aceh, dan lain-lain, terjadi karena terdapat sumber daya alam dalam jumlah yang strategis, minyak dan gas bumi, ladang ganja dan obat bius, yang oleh CIA dikelola secara tertutup.
Pada gilirannya kepentingan ekonomi ini bermuara ke politik luar negeri resmi Ameriksa Serikat. Akhimya ujung-ujungnya ke IMF, Bank Dunia, dan bank-bank regional dan investor swasta. Perang Afghanistan adalah contoh nyata adanya mata-rantai yang kuat antara agenda untuk untuk menguasai minyak yang ada di perut bumi Cekung Kaspia (Caspian Basin) dengan rancangan membangun hegemoni politik di Asia Tengah dalam rangka mengamankan kepentingan minyak dan gas bumi bumi tersebut.
Peristiwa serangan 11 September 2001 terhadap gedung-kembar WTC New York yang menewaskan lebih-kurang 6.000 jiwa adalah suatu rekayasa politik yang luar biasa kejamnya yang dilakukan oleh kelompok ‘rajawali’ Yahudi di bawah pimpinan Paul Wolfowitz di departemen pertahanan Amerika Serikat, yang bekerja-sama erat dengan dinas rahasia Israel Mossad, untuk mendapatkan dalih “menghukum” Afghanistan sebagai “kambing hitam”-nya.
Semuanya berkaitan sebagai suatu mata rantai. Kecurigaan bahwa serangan terhadap gedung-kembar itu merupakan sebuah rekayasa sangat rahasia oleh pihak Amerika Serikat sendiri yang dibantu oleh badan intelijen Israel Mossad, bukan hanya dikeluarkan oleh Alexander Gordon, seorang analis keamanan Amerika Serikat, tetapi juga dari ulasan koran the Guardian dan BBC London, kantor berita teve Amerika ‘Fox News’, Vision TV Kanada, koran the Washington Post, bahkan datang dari pemerintah Jerman, sekutu Amerika Serikat sendiri.
Mari dicermati institusi global ini: ada sistem PBB dengan missi konon untuk “memelihara perdamaian” yang pembentukannya diprakarsai oleh tokoh-tokoh Zionis; mereka memainkan perannya melalui negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Dari situ ada IMF, Bank Dunia, dan bank-bank pembangunan regional seperti ADB, Asian Development Bank, dan sebagainya. Di Eropa ada the European Bank for Reconstruction and Development, serta WTO. Lembaga-lembaga ini merupakan kekuatan utama mereka.
Kadangkala perang diperlukan untuk menciptakan suatu kondisi yang kondusif, dan kemudian lembaga-lembaga ekonomi produk kaum Zionis itu akan masuk untuk memberesi keadaan yang berantakan. Sebagai misal, sesudah pemerintahan Taliban di Afghanistan jatuh, kelompok bankir Yahudi ini mengusulkan dibentuknya semaeam ‘Marshall Plan’ untuk “membangun kembali” infra-struktur negeri itu yang sudah hancur berantakan.
Atau.sebaliknya, IMF sendiri yang melakukan destabilisasi ekonomi seperti yang mereka lakukan di Indonesia. Mereka bersikeras menghapus subsidi pada berbagai kebutuhan publik di negara itu. Kini kebijakan itu berhasil melumpuhkan sebuah negara sebesar Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000 pulau, dan berakhir dengan keterpurukan ekonomi yang kacau-balau. Keadaan geografinya dan persebaran sumber daya-alamnya yang tidak merata membuat ekonomi nasionalnya bukan menjadi sumber kesejahteraan, tetapi berubah menjadi suatu malapetaka. IMF meninggalkan kondisi ekonomi-keuangan negara kepulauan ini dalam keadaan berantakan dengan cara yang belum pernah dihadapi oleh orang Indonesia.
Apa yang telah diperbuat oleh IMF di Indonesia? Mereka bersikeras memotong uang yang seharusnya ditujukan untuk mensubsidi pemerintahan di daerah, misalnya di bidang pendidikan, dan sebagainya. Kebetulan mereka melakukan hal yang serupa di Brazil. Mereka mendestabilisasikan suatu negara, karena untuk menguasai suatu negara harus ada kesamaan fiskal, suatu sistem untuk transfer fiskal. Jadi di suatu tempat seperti di Indonesia, mereka mendorong sctiap daerah rrielalui kebijakan otonomi daerah yang infra-strukturnya tidak disiapkan lebih dahulu, masing-masing akhirnya berperilaku menjadi semacam negara bagian.
Jadi pada saat ini berbagai negara dilemahkan dengan konflik-konflik regional dan domestik yang dibiayai oleh dana keuangan Barat, baik secara terbuka maupun seeara tertutup. Kosovo Liberation Army, Aliansi Utara di Afghanistan, (GAM di Aceh ?), hanyalah sekian contoh dari beberapa kasus, bagaimana gerakan insurgensi di suatu negara dibiayai oleh Barat. Konflik-konflik yang dimanipulasi di Kosovo, Afghanistan, Aceh, dan lain-lain, terjadi karena terdapat sumber daya alam dalam jumlah yang strategis, minyak dan gas bumi, ladang ganja dan obat bius, yang oleh CIA dikelola secara tertutup.
Dan tentu saja gagasan untuk masing-masing berdiri-sendiri menjadi sangat menarik bagi berbagai kelompok etnik di daerah yang berbeda-beda. Tentu saja mereka (yakni perancangnya di IMF) sadar sekali tentang hal ini – mereka melakukannya berulang-kali. Mereka hanya mendorong saja gagasan yang sudah ada. Hal itu terjadi di Yugoslavia, terjadi di Brazil; hal itu bahkan terjadi di bekas Uni Sovyet, dimana daerah-daerah dilepaskan begitu saja, karena Moskow tidak mampu memberi mereka uang. Kalau hal itu terjadi dimana rakyat dimelaratkan, mereka mulai saling membunuh. Terjadi pada setiap kelompok, pada kelompok-kelompok etnik, agama, dan kedaerahan, seperti di Indonesia.
Namun hal yang sarna bisa saja terjadi, seperti di Somalia, dimana tidak ada kelompok-kelompok etnik, tetapi skema IMF tetap berjalan. Tidaklah diperlukan adanya masyarakat multi-etnik untuk agenda memecah belah suatu bangsa, untuk melakukan Balkanisasi. Skema ini didasarkan pada agenda ‘rekolonialisasi’.
Negara dan ‘Teritori’
Negara-negara diubah menjadi teritori-teritori, persisnya koloni gaya baru. Apa beda negara dengan teritori ? Negara memiliki suatu pemerintahan, memiliki lembaga-lembaganya, ada anggaran, negara memiliki perbatasan ekonomi, dan memiliki lembaga seperti beacukai
Sebuah teritori, hanya memiliki pemerintahan secara nominal yang dikendalikan oleh IMF Tidak ada lembaga-lembaga yang otonom dan berdaulat, baik dari pemerintahan maupun swasta, karena telah diperintahkan tutup oleh IMF dan Bank Dunia. Tidak ada perbatasan, karena WTO telah memerintahkan pasar-bebas. Tidak ada industri atau pertanian, karena sektor-sektor ini telah didestabilisasikan sebagai akibat meningkatnya suku-bunga sampai 60 % per annum, dan hal itu akibat dari program IMF juga. Angka 60% itu bukan mengada-ada; di Brazil angka itu lebih tinggi. Pada tahun 1998 Indonesia mengalami hal serupa, Botswana menghadapi hal yang sama. Sukubunga seperti itu luar biasa tingginya.
Untuk mencapai hal itu IMF memasang batas ceiling kredit. Sehingga orang tidak mungkin mendapatkari pinjaman bank; bank-bank tidak mampu menjalankan peran intermediasi mereka keadaan suku-bunga meningkat, dan tentu saja hal itu secara pasti membunuh ekonomi setempat. Di Indonesia, IMF menuntut pelaksanaan kebijakan uang-ketat (‘austerity program’) dengan menaikkan suku-bunga obligasi bank sentral menjadi 17%, sehingga mendorong bank-bank komersial menaikkan suku-bunga kredit mereka. Untuk menambah keadaan menjadi lebih parah bank sentral Indonesia menuntut tiap bank yang ingin tetap hidup harus memiliki CAR (capital adequacy ratio) minimal 8%. Akibatnya bank-bank Indonesia berlomba-lomba mencari dana masyarakat, ketimbang menjalankan peran intermediasi mereka untuk mendorong kembali hidupnya ekonomi di sektor riel.
Untuk melawannya tidak mungkin dengan suatu gerakan topik tunggal. Tidaklah mungkin memfokuskan semata-mata pada lembaga-lembaga Bretton Woods, atau WTO, atau terhadap isu lingkungan, atau perekayasaan genetik. Perjuangan melawan “kolonialisme gayabaru” itu harus dalam hubungan totalitas. Tatkala menggunakan totalitas orang akan mampu melihat hubungan penggunaan kekuatan.
Di bawah sistem ekonomi seperti yang ada sekarang ini terhampar sendi-sendi orde kapitalis yang tertutup: industrial-military complex (catat; embargo Amerika Serikat terhadap peralatan militer Indonesia), kegiatan apparatus intelijen, dan kerja-sama dengan dan pengerahan kejahatan terorganisasikan (organized crimes), termasuk perdagangan narkotika untuk mendanai konflik-konflik internal di suatu negara dalam rangka membukakan pintu negara-negara Dunia Ketiga tersebut ke bawah kontrol komplotan Barat-Zionis.
Kini zamannya telah beralih dari gunboat diplomacy ke missile diplomacy. Sebenarnya istilah missile diplomacy tidaklah tepat. Yang ada adalah pemboman secara kasar dan primitif, seperti halnya ancaman dari utusan presiden Bush kepada pemerintahan Emirat Islam Afghanistan pada tahun 1999, tatkala Bush menghendaki tampilnya kembali bekas raja Mohammad Zahir Shah di Afghanistan sebagai tokoh pimpinan pemerintahan boneka, dan konsesi eksploitasi atas minyak dan gas bumi Afghanistan, serta pemasangan lintas pipa-minyak dari Turkmenistan ke Pakistan melalui wilayah Afghanistan dengan ancaman kasar, “Kalau anda setuju kami akan hamparkan ‘carpet of gold’, tetapi bilamana tidak, kami akan berikan anda ‘carpet-bombing’ “. Taliban menolak, dan mereka mendapatkan ganjaran, ‘carpet-bombing’ yang dijanjikan itu.
Money-Politics dan Penguasaan Elit Politik
Sebagian dari birokrasi sipil dan aparat intelijen militer di Dunia Ketiga terdiri dari para gangster dan kriminal2. Namun keadaan yang sebenarnya bila didalami jauh lebih rumit. Karena pada dasarnya para gangster itu tidak lebih dari instrumen dalam jaringan-kerja dari para pemodal besar internasional (baca: Yahudi). Mereka tidak menghalang-halangi sistem yang ada. Para gangster itu adalah orang yang dengan mudah dapat dipergunakan, karena mereka tidak bertanggung-jawab kepada konstituensi mereka, atau kepada siapa pun. Karena itu penggunaan mereka sangat bermanfaat.
Ambil misalnya ketika negara-negara Barat mendudukkan Hacim Thaci (pernimpin ‘Tentara Pembebasan Kosovo’) dalam pemerintahan di Kosovo, atau Abdul Hamid Karzai di Afghanistan. Jauh lebih mudah menempatkan gangster semacam mereka untuk memerintah negeri Kosovo atau Afghanistan, daripada mendudukkan seorang perdana menteri terpilih dengan integritas pribadi yang tinggi, yang bertanggung-jawab kepada konstituensinya. Yang terbaik adalah menempatkan seorang gangster-terpilih, seperti Boris Yeltsin (bagaimana dengan di Indonesia?), karena cara itu yang terbaik. Cari dan temp atkan seorang gangster-terpilih. Di pemerintahan Amerika Serikat sudah beberapa kali menempatkan gangster terpilih. Mengapa? Karena gangster-terpilih lebih mudah dikendalikan daripada seorang bukan-gangster yang diangkat.
Tetapi harus dimaklumi, para gangster ini merupakan kaki-tangan yang sangat menyolok – hal itu disebut sebagai kriminalisasi suatu negara. Sudah dapat dipastikan akan ada inter-penetrasi perdagangan yang legal maupun illegal. Dan perdagangan ilegal selalu berada dalam bisnis dan keuangan berskala besar. Pemimpin yang mendapatkan dukungan luas dari rakyat oleh negara-negara Barat tidak dikehendaki. Sebagai contoh bekerjanya anasir Zionis melalui jaringan klandestin, baik melalui partai-partai politik yang korup, badan-badan LSM kiri, kelompok ‘theologi pembebasan’ Katolik Jesuit yang kekiri-kirian, serta kaum anarkis, telah berhasil menyingkirkan tokoh yang memiliki integritas dan kompetensi. Pemimpin yang memiliki integritas dari segi kepentingan Zionisme secara politik tidak-dikehendaki. Itulah yang terjadi dengan nasib presiden B.J.Habibie dari Indonesia, yang ditendang keluar, bahkan oleh partainya sendiri.
Aspek penting dari kegiatan klandestin IMF adalah menciptakan kondisi untuk membiakkan perdagangan ilegal dan untuk mencuci uang di seluruh dunia. Hal itu sangat jelas, karena ketika ekonomi legal jatuh terpuruk akibat reformasi IMF, lalu apa yang tersisa. Yang tersisa adalah ekonorni-kelabu, ekonomi kriminal. Hal itu mendorong perkembangan kekuatan ekonomi ilegal yang akan digunakan untuk menggantikan kekuatan ekonomi legal yang secara potensial lebih bertanggung-jawab.
Keruntuhan sistem ekonomi yang legal di suatu negara menciptakan juga kondisi untuk perkembangan insurjensi, destabilisasi pemerintah terpilih, penutupan lembaga-lembaga, dan perubahan negara menjadi sekedar sebuah teritori, yang kemudian dikendalikan layaknya sebuah koloni. Indonesia dilihat dari berbagai indikasi obyektif, layak untuk dimasukkan ke dalam kartegori ‘koloni gaya-baru’ dari negara-negara Barat.
Kasus – “Suatu Model Membuka Kosovo untuk Modal Asing”
Di daerah pendudukan Kosovo yang berada di bawah mandat pasukan penjaga-keamanan PBB, “terorisme oleh negara” dan kaum pembela “pasar-bebas”, berjalan bergandengan tangan. Kriminalisasi oleh lembaga-lembaga negara yang terus berlangsung bukannya tidak sesuai dengan sasaran-sasaran ekonomi dan strategi Barat di Balkan.
Tanpa memperhitungkan kejahatan pembantaian rakyat sipil, pemerintahan KLA yang memproklamasikan diri-sendiri telah memberikan komitmennya untuk membentuk suatu “pemerintahan yang aman dan stabil” bagi para investor asing dan lembaga-lembaga keuangan internasional Yahudi, yang didukung oleh negara-negara Barat, dan lembaga-lembaga keuangan yang berbasis di New York dan London. Mereka telah melakukan analisis tentang konsekwensi bila suatu intervensi militer terjadi dengan akibat perlunya pendudukan Kosovo, hampir setahun sebelum terjadinya perang. Konsep ini diulang kembali di Afghanistan pada tahun 2001. IMF dan Bank Dunia telah melakukan suatu ‘simulasi’ yang ‘mengantisipasi kemungkinan skenario darurat berlaku sebagai akibat ketegangan-ketegangan yang ada di Kosovo’.
Tatkala pemboman masih berlangsung, Bank Dunia dan Komisi Eropa memperoleh sebuah mandat khusus guna ‘mengkoordinasikan para donor’ untuk bantuan ekonomi di Balkan. Muatan ‘terms of reference’ tidak mengeluarkan Yugoslavia dari daftar penerima bantuan donor tersebut. Hal itu dengan jelas menegaskan bahwa Belgrado berhak untuk mendapatkan pinjaman pembangunan “begitu keadaan politik disana berubah”. Sehubungan dengan Kosovo, alih-alih memberikan pinjaman untuk membangun kembali infra-struktur propinsi Kosovo, IMF dan Bank Dunia malah lebih memusatkan intervensinya dengan pemberian ‘bantuan dalam merancang rekonstruksi dan program recovery’ serta apa yang dinamakan ‘nasehat kebijakan dalam manajemen ekonomi’ dan ‘pembangunan kelembagaan’ khususnya ‘pemerintahan’. Dengan kata lain, sepasukan ahli hukum dan konsultan dikirimkan untuk menjamin transisi Kosovo ‘membangun suatu ekonomi pasar yang hidup, terbuka, dan transparan’. Bantuan yang diberikan kepada pemerintahan sementara Kosovo akan diarahkan menuju ‘terbentuknya lembaga-lembaga yang transparan, efektif, dan berkelanjutan’. ‘Pemberdayaan lingkungan’ bagi investasi modal asing akan dibentuk sejajar dengan pembentukan ‘jaringan keselamatan sosial’ dan ‘program pengentasan kemiskinan’.
Sementara itu bank-bank milik negara Yugoslavia yang beroperasi di Pristina ditutup. Mata-uang Deutschmark ditetapkan sebagai alat tukar yang sah, dan sistem perbankan dialihkan kepada Commerzbank AG Jerman, yang menjadi pemegang saham tunggal swasta di dalam Micro Enterprise Bank (MEB milik Kosovo) yang dibentuk pada awal tahun 2000 dengan pemrakarsa International Finance Corporation (milik Bank Dunia), the European Bank for Reconstruction and Development (EBRD), bersama dengan Nederlandse FinancieringsMaatschappij voor Ontwikkelingslanden (FMO). Internationale Micro Investitionen (IMI milik Jerman), dan Kredit Anstalt fuer Wiederaufbau (KW juga milik Jerman). Jadi pihak Jerman (Commerzbank AG, milik Yahudi) akan menjalankan kontrol atas fungsi-fungsi perbankan untuk propinsi Kosovo termasuk transfer keuangan dan transaksi luar negeri.
Dalam karakter yang sarna para komprador IMF di Indonesia tengah gencar-gencarnya menjual aset-aset publik yang selama ini berperan sebagai money-machine bagi Indonesia dengan harga obral-obralan, seperti BCA, Telkom, Semen Gresik, perkebunan kelapa sawit eksmilik Salim Grup, dan lain-lain kepada pihak asing. Para bidder domestik dalam proses tender itu tidak digubris. Tidak salah bila Prof.Chossudovsky memasukkan Indonesia ke dalam kategori “teritori” dari kekuatan keuangan Zionisme.