Oleh: Prof. Dr.
Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi
Ekonomi Pancasila UGM
Pendahuluan
Dalam masyarakat dewasa ini terjadi
“debat kusir” atau perdebatan menyesatkan antara pemerintah yang
menganggap kenaikan harga BBM sebagai “kebijakan ekonomi rasional
yang tidak dapat dihindarkan” dengan pendapat mahasiswa,
masyarakat, dan pakar-pakar ekonomi pasar populis yang
menentangnya. Memang ada pendapat Kwik Kian Gie yang tidak
menyetujui logika ekonomi kenaikan harga BBM sebagai cara mengurangi
subsidi atas harga BBM. Menurut perhitungannya biaya produksi
premium sekarang hanya Rp. 500,- per liter, sehingga dengan harga
eceran premium Rp. 2.000,- per liter Pertamina masih untung Rp.
1.500,- per liter. Ini berarti dengan harga yang berlaku sekarang sebenarnya tidak
diperlukan subsidi yang harus ditanggung APBN. Kenaikan harga BBM
bukan cara mengurangi subsidi karena subsidi itu sendiri sebenarnya
tidak ada.
Aspek lain yang selalu “tersembunyi” adalah mengapa
selalu terjadi defisit APBN. Apakah tidak mungkin pemerintah
membatasi belanja /pengeluarannya dalam APBN sehingga juga tidak ada
keharusan menaikkan harga BBM atau bahkan tidak ada keharusan
mencari pinjaman luar negeri hanya untuk menutup defisit APBN.
Besar Pasar daripada Tiang
Tiang utama yang menyangga sebuah
rumah harus kuat agar rumah tidak ambruk. Dan pasak-pasak yang
disangga tiang harus tidak boleh lebih besar atau lebih berat
daripada tiang-tiang penyangganya. Itulah bunyi pepatah yang
menasehatkan setiap rumah tangga agar hidup hemat, jangan sampai
belanja melebihi kemampuan pendapatan/penghasilan bulanan. Jika
pengeluaran/belanja keluarga melebihi penghasilan, maka terjadilah defisit
yang harus ditutup dengan utang, atau satu keluarga harus pergi
ke rumah gadai untuk menggadaikan harta milik keluarga.
Bagaimana dengan rumah tangga
negara? Mengapa APBN harus defisit? Pada zaman Orde Lama (1959-1966)
pemerintah hampir selalu mengalami defisit APBN, dan defisit itu
ditutup dengan utang pada Bank Sentral dengan mencetak uang baru.
Pencetakan uang baru memang “hak” pemerintah. Kalau pencetakan
uang baru memang dipakai untuk menciptakan produksi, defisit APBN
tidak apa-apa. Tetapi kalau pencetakan uang baru dipakai untuk
membangun proyek-proyek mercu suar yang tidak menghasilkan barang
dan jasa baru yang dibutuhkan masyarakat, maka hasilnya adalah
inflasi atau kenaikan harga-harga umum. Inflasi terjadi karena
jumlah uang yang beredar bertambah berhadapan dengan jumlah barang
dan jasa yang tidak bertambah.
Sejak Orde Baru ada cara baru
menutup defisit APBN. Pemerintah tidak mencetak uang baru tetapi
berhutang dari luar negeri karena ekonomi Orde Baru memang ditandai
mulai berperannya modal asing, baik berupa penanaman modal langsung
(FDI) maupun utang luar negeri. Namun logika ekonominya sama dengan
pencetakan uang baru. Tambahan uang beredar tidak akan menimbulkan
inflasi kalau modal asing atau utang luar negeri berakibat pada
kenaikan produksi barang dan jasa. Kalau modal/utang luar negeri
bersifat “produktif” maka kegiatan ekonomi nasional akan
meningkat yang berakibat pada peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Bahkan utang luar negeri untuk mengimpor beras/gandum “PL 480”
dari Amerika Serikat pada awal Orde Baru dianggap “produktif”
karena berakibat naiknya pasokan beras/gandum dalam negeri untuk
menutup defisit produksi dalam negeri.
Logika ekonomi utang luar negeri
menjadi kacau sesudah krisis moneter 1997/1998 ketika utang
luar negeri tidak dipakai untuk meningkatkan kemampuan produksi
dalam negeri, tetapi untuk menutup defisit APBN dan kemudian utang
dalam negeri untuk mendanai penerbitan obligasi rekapitalisasi
perbankan. Utang dalam negeri ini adalah untuk “menyelamatkan”
bank-bank milik negara (BUMN) maupun bank-bank swasta nasional yang
sejak krismon telah kekurangan/kehabisan likuiditas karena
banyaknya kredit macet. Program penyelamatan bank ini sangat mahal,
mencapai Rp. 650 trilyun dengan bunga rata-rata Rp. 65 trilyun per
tahun, yang harus dibayar oleh pemerintah dan dimasukkan sebagai pos
pengeluaran APBN. Pengeluaran pemerintah yang Rp. 65 trilyun ini
berarti sekitar 20% APBN yang menambah besarnya “pasak” dan yang
terlalu berat untuk disangga “tiang-tiang” hasil penerimaan
pajak pemerintah.
Demikian kiranya jelas utang luar
negeri pemerintah sekarang tidak saja tidak produktif, tetapi
sebagian besar sangat keliru karena hanya untuk membantu
“menyelamatkan” bank, yang pada gilirannya berarti mensubsidi
orang-orang kaya yang bermodal banyak. Di antara orang-orang kaya
ini adalah pemilik bank-bank swasta nasional, dan kini
melalui pembelian saham juga menjadi pemilik bank-bank milik negara.
Itulah sebabnya kini banyak bank melaporkan keuntungan luar biasa,
padahal pertumbuhan ekonomi belum cukup tinggi dan ekonomi rakyat
(UKM) tetap berteriak kekurangan modal usaha, dan amat sulit
memperolehnya, meskipun pemerintah sudah membuat skema-skema kredit
khusus bagi ekonomi rakyat (UKM). Sistem perbankan Indonesia
terbukti sangat berpihak pada orang kaya dan secara tidak langsung
“memusuhi” orang miskin.
Kesimpulan kita jelas bahwa
kenaikan harga BBM tidak tepat dan tidak adil kalau dijadikan alasan
untuk mengurangi defisit APBN karena defisit itu sendiri didisain
untuk mensubsidi orang-orang kaya.
Istilah kompensasi subsidi
yang sering dipakai juga tidak tepat karena sekali lagi subsidi itu
selama ini lebih banyak dinikmati orang kaya yang banyak menggunakan
BBM. Subsidi itu harus dihapuskan sama sekali, tidak perlu dialihkan.
Sebagai gantinya pemerintah perlu menyusun program-program khusus
pemberantasan kemiskinan yang langsung diarahkan kepada
keluarga-keluarga miskin baik di bidang pangan, pendidikan, maupun
bidang kesehatan. Program-program penanggulangan kemiskinan yang
nyata-nyata salah sasaran seperti raskin (beras untuk
penduduk miskin) harus dihapuskan. Program raskin disamping
tidak pernah mengena pada sasaran orang miskin karena diberikan
kepada seluruh warga, yang miskin maupun yang tidak miskin, juga
berakibat menekan harga beras pada tingkat petani sehingga
mengurangi gairah petani memproduksi padi. Ini berakibat fatal.
Kekeliruan kebijakan pemerintah
yang memaksakan diri membuat pengeluaran yang melebihi pendapatan
pajak pernah pula secara sangat lugas diingatkan oleh Bung Hatta
menjelang diterapkannya ekonomi komando tahun 1959:
Anggaran
belanja harus seimbang. Kalau tidak apa yang dibangun dengan tangan
kanan, dilemahkan lagi atau diruntuhkan dengan tangan kiri .... Di
atas dasar anggaran belanja yang senantiasa defisit, tidak dapat
disusun rencana berkala seperti rencana lima tahun ... anggaran
belanja yang setimbang adalah syarat mutlak untuk melaksanakan
ekonomi terpimpin yang sebenarnya
(M. Hatta, 1977: 78)
Asas Ekonomi Pancasila
Apabila masih ada yang mengira
bahwa kebijakan ekonomi Orde Baru telah didasarkan pada
asas-asas ekonomi Pancasila, maka ada baiknya kita kutip lagi
pernyataan Bung Hatta ketika berpidato memperingati hari lahirnya
Pancasila 1 Juni 1977, bahwa pemerintah belum pernah secara
sungguh-sungguh mentaati asas-asas ekonomi Pancasila:
Camkanlah,
negara Republik Indonesia belum lagi berdasarkan Pancasila, apabila
pemerintah dan masyarakat belum sanggup mentaati UUD 1945, terutama
belum dapat melaksanakan Pasal 27 ayat (2), Pasal 31, Pasal 33, dan
Pasal 34.
(Moh. Hatta, Pengertian Pancasila, 1 Juni 1977).
Meskipun Pancasila adalah
ciptaan Bung Karno, tokh Bung Hatta yang merumuskan Pasal 33 UUD
1945 tentang kesejahteraan sosial, sangat percaya pada
keampuhan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, dan selalu
mendukung setiap upaya mengamalkan Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari. Ketika Bung Karno memperkenalkan konsep Demokrasi
Terpimpin (1959), Bung Hatta mengembangkan pemikiran yang
paralel di bidang ekonomi dengan nama Ekonomi Terpimpin.
Ciri khas ekonomi terpimpin adalah tidak diserahkannya sistem
ekonomi pada “mekanisme pasar” yang bekerja terlalu bebas atau
terlalu merdeka, sehingga ekonomi dan aturan-aturannya dikuasai oleh
pengusaha-pengusaha kuat dengan korban ekonomi rakyat.
Ekonomi
terpimpin adalah lawan daripada ekonomi merdeka, yang
terkenal dengan semboyannya laissez faire. Apabila ekonomi
merdeka menghendaki supaya pemerintah jangan campur tangan dalam
perekonomian rakyat dengan mengadakan peraturan ini dan itu, ekonomi
terpimpin menuju yang sebaliknya. Pemerintah harus aktif bertindak
dan mengadakan berbagai peraturan terhadap perkembangan ekonomi
dalam masyarakat agar tercapai keadilan sosial. Membiarkan
perekonomian berjalan menurut apa yang dikatakan permainan merdeka
daripada tenaga-tenaga masyarakat (price mechanism) berarti
membiarkan yang lemah menjadi makanan yang kuat (M. Hatta, Ekonomi Terpimpin,
April 1959).
Ciri-ciri sistem ekonomi terpimpin
ini sama dengan ciri-ciri sistem ekonomi Pancasila yang merupakan
sistem ekonomi yang “dibina” dan dikembangkan pada awal Orde
Baru (1966). Namun justru karena pada akhir Orde Lama (1966)
itu ekonomi terpimpin telah kebablasan menjadi “ekonomi komando”,
maka pembaruannya menjadi demokrasi ekonomi dijadikan alasan
untuk menolak segala ciri sistem ekonomi terpimpin sebagaimana
digambarkan Bung Hatta tersebut di atas. Ciri-ciri demokrasi ekonomi
selanjutnya digambarkan sebagai sistem “ekonomi pasar dengan
perencanaan”, dengan peranan besar diberikan kepada dunia usaha
swasta baik swasta nasional maupun swasta asing dan negara harus
mengurangi peranannya dalam perekonomian.
Pemikiran ekonomi Pancasila
dari Emil Salim tahun 1966 yang diuraikan tuntas oleh Dawam Rahardjo
tidak berlanjut karena tidak ada dukungan kelembagaan dari FE-UI. Salah satu alasan dari kemandegan pemikiran ekonomi Pancasila Emil
Salim adalah karena Emil Salim keliru menganggap hanya sila ke-5
saja, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
yang relevan dengan sistem ekonomi Pancasila. Yang benar,
seluruh sila harus dijadikan acuan kebijakan dan perilaku ekonomi
warga masyarakat.
Pada tahap berikutnya, pemikiran
tentang sistem ekonomi Pancasila mendapat dukungan
kelembagaan dari Fakultas Ekonomi UGM tahun 1980 dan 1981. Pada HUT ke-25, FE-UGM mengadakan Seminar Nasional Ekonomi
Pancasila pada 19 September 1980 yang diteruskan setahun
kemudian pada 19 September 1981. Selama 4 bulan (Mei-Agustus 1981),
berkembang polemik nasional yang “meriah” tentang ekonomi
Pancasila, sampai-sampai Presiden Soeharto pun menyinggungnya dalam
pidato kenegaraan 16 Agustus 1981. Disayangkan bahwa kritik-kritik
tajam oleh pemikir-pemikir Ekonomi Pancasila pada tahun 1980-1981
yang mengingatkan bahaya paham kapitalisme-liberalisme,
justru “dipadamkan” oleh kondisi keprihatinan ekonomi nasional
karena anjlognya harga ekspor minyak bumi Indonesia tahun 1982.
Faktor “resesi ekonomi nasional” ini sudah cukup untuk
“menolak” pikiran-pikiran sehat ekonomi Pancasila dari
ekonom-ekonom FE-UGM yang menghendaki peranan besar dari pemerintah/negara
dalam mengatur (sistem) perekonomian nasional. Maka mulailah
deregulasi atau liberalisasi dalam perekonomian Indonesia mulai 1983
sampai 1994.
Tragedi berakhirnya Orde Baru 1998
sangat mirip suasana politik ketika Republik Indonesia memutuskan
kembali ke UUD 1945 bulan Juli 1959. Semangat reformasi dalam bidang
ekonomi lebih ditekankan pada asas kerakyatan yang mengacu
hanya pada sila ke-4 Pancasila, bukan Pancasila secara keseluruhan.
Maka mulai populer konsep Sistem Ekonomi Kerakyatan yang
“menggantikan” sistem Ekonomi Pancasila.
Demikian salah satu sasaran utama prgram
aksi meluruskan reformasi hasil Dialog Kebangsaan UGM 11-14
Maret 2004 adalah “terciptanya penguatan ekonomi rakyat dan
terwujudnya sistem ekonomi yang mengakar pada budaya
Indonesia seperti dicita-citakan dalam Pasal 33 UUD 1945 asli dan
penjelasannya”. Selanjutnya program aksi utama yang diusulkan
adalah “Menyusun UU Perekonomian Nasional yang didahului dengan revisi
amandemen UUD untuk kembali ke Pasal 33 UUD 1945 asli dengan
penjelasannya, diikuti dengan sosialisasi dan pengembangan
pendidikan ekonomi Pancasila”. Pada Dies ke-55
Desember 2004 UGM bertekad merevitalisasi jati dirinya yaitu Pancasila
dengan mengembangkan Bulaksumur School of Thoughts.
Kesimpulan: Kaji Ulang Kenaikan Harga BBM
Argumentasi makalah ini adalah
bahwa rencana kenaikan harga BBM, yang sebagian sudah dilaksanakan (Elpiji
dan Petramax) yang jelas-jelas ditentang rakyat karena akan
mendorong kenaikan harga-harga umum, sulit diterima logika ekonomi
Pancasila. Analisis ekonomi lebih mendalam tidak mendukungnya,
lebih-lebih jika alasan utama yang dipakai adalah keharusan
menghilangkan subsidi. Subsidi terhadap harga BBM yang selalu
disebut pemerintah akan meningkat dengan hampir Rp. 50 trilyun (jika
harga minyak naik menjadi US$ 36 per barrel) sulit diterima, karena
Indonesia bukan pengimpor minyak.
Dalam pada itu upaya pemerintah
mengurangi atau menghilangkan subsidi atas harga BBM selalu akan
ditentang masyarakat jika pemerintah tetap mempertahankan kebijakan
memberikan subsidi bunga dana rekapitalisasi perbankan yang Rp. 65
trilyun per tahun. Subsidi ini diberikan kepada dunia perbankan yang
berpihak penuh pada orang-orang kaya pemilik modal. Masyarakat akan
menuntut pengkajian ulang seluruh kebijakan subsidi agar pemerintah
tidak lagi berpihak pada perusahaan perbankan dan pengusaha kuat
yang sejauh ini lebih banyak mengejar untung dan sama sekali tidak
menunjukkan keberpihakan pada upaya-upaya penguatan ekonomi
rakyat.
Memang ada gejala sangat kuat
pemerintah “SBY-Kalla” yang dikuasai pemikiran “pedagang”
dan cenderung membela kepentingan pengusaha kuat, akan mewujudkan
kekhawatiran Adam Smith (1776) yang sejak awal sudah memperingatkan:
People
of the same trade seldom meet together, even for merriment and
diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the
public, or in some contrivance to raise prices.
Orang-orang dari bidang usaha yang sama jarang bertemu,
tetapi (kalau mereka bertemu) pembicaraan-pembicaraan mereka
berakhir dalam bentuk persekongkolan melawan kepentingan umum, atau
dalam penemuan cara-cara menaikkan harga-harga.
Bukankah Menko Perekonomian justru
lebih membela kaum pedagang dan tidak akan mengintervensi Pertamina
dalam menaikkan harga BBM ketika dilaporkan menyatakan “Kalau
tidak mau, ya tidak usah membeli gas”? Pernyataan “pedagang”
ini jelas menyakitkan hati rakyat kecil.
Rupanya pemerintah perlu disadarkan
kembali pada semangat awal Orde Baru yaitu memelihara anggaran
berimbang dengan membatasi anggaran pengeluarannya sesuai
kemampuannya mengumpulkan pajak. Pemerintah sangat dianjurkan tidak
melanggar pepatah “Besar pasak daripada tiang”.
Akhirnya strategi pembangunan
nasional jangka panjang Indonesia harus berdasar Pancasila
dan memenuhi kewajiban-kewajiban UUD
1945 yaitu Pasal 27 ayat (2), Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal
34. Hanya jika ke-4 pasal-pasal ekonomi dan sosial ini ditaati maka
Pancasila dapat diamalkan dan tercapailah keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
4 Januari 2005
Lampiran
Undang-undang Dasar 1945
Pembukaan
Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka
rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 27
(2)
|
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
|
Pasal 31
(1)
|
Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
|
(2)
|
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.
|
Pasal 33
(1)
|
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan.
|
(2)
|
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
|
(3)
|
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
|
Pasal 34
Fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar dipelihara oleh negara.
***